SEJARAH HUKUM PERDATA

Hukum perdata yang berlaku di Indonesia merupakan adopsi dari hukum yang ditetapkan selama pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Maka dari itu sejarah hukum perdata yang akan dibahas kali ini terdiri dari sejarah hukum perdata di Belanda dan sejarah hukum perdata di Indonesia.

Sejarah Hukum Perdata Di Belanda

Sejarah Hukum Perdata di Belanda tidak bisa dipisahkan dari Hukum Perdata Prancis, yaitu Code Civil Prancis. Perjalanan sejarah dari terbentuknya Code Civil Prancis, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, Hukum Romawi telah berlaku di Perancis yang berdampingan dengan Hukum Perancis Kuno yang berasal dari Hukum Germania yang saling mempengaruhi.

Kemudian wilayah negeri Perancis terbelah menjadi 2 (dua) daerah hukum yang berbeda. Bagian Utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan Bagian Selatan merupakan daerah hukum yang tertulis (pays de droit ecrit). Di Bagian Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari Hukum Germania sebelum resepsi Hukum Romawi, sedangkan di Bagian Selatan berlaku Hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis pada pertengahan abad ke VI Masehi dari Justianus.

Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu: (1) Codex Justiniani, (2) Pandecta, (3) Institutiones dan (4) Novelles Codex.

  • Justianni adalah kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam undang-undang.
  • Pandecta adalah memuat kumpulan pendapat para ahli Hukum Romawi yang termashur misalnya Gaius, Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan sebagainya.
  • Institutiones adalah memuat tentang pengertian Lembaga lembaga hukum Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah Codex selesai

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia

Pada tanggal 31 Oktober 1837, Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota, tapi panitia ini belum berhasil membuat kodifikasi. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes.Ppanitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.

Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. Dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata Indonesia ini, Scholten dan kawan- kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berjasa dalam kodifikasi tersebut.

Di samping itu, sejarah mengenai perkembangan Hukum Perdata yang berkembang di Indonesia bahwa Hukum Perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk Hukum Perdata Belanda yang diberlakukan asas korkondansi, yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah.

Dalam Perspektif sejarah, Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam 2 (dua) periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia Merdeka.

Sebelum Indonesia Merdeka

Sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah, termasuk Hukum Perdata Indonesia. Hukum Perdata yang diberlakukan bangsa Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang. Pada masyarakat Indonesia mengenal Hukum Adat atau Hukum Agama, kemudian di Indonesia berdasarkan azas korkondansi maka dikehendaki perundang- undangan di Negara Belanda berlaku untuk orang-orang Eropa di Hindia Belanda (Indonesia). Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia bersumber pada ketentuan dalam Pasal 165 Indeche Staatregeling (IS), yang membagi penduduk Hindia Belanda atas 3 (tiga) golongan, yaitu:

  1. Golongan Eropa, semua orang Belanda, semua orang Jepang, semua orang lain yang di negaranya tunduk pada hukum yang sama dengan hukum Belanda, anak sah dan diakui menurut undang-undang yang lahir dari Hindia Belanda, yaitu berlaku KUH Perdata.
  2. Golongan Bumiputra berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu sudah berlaku di kalangan rakyat yang sebagian besar belum tertulis.
  3. Golongan Timur Asing yang berasal Tionghoa, Arab, India dan lainnya yang tidak termasuk golongan Eropa dan Bumiputra berlaku KUH Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang)/Wetboek van Koophandel)

Setelah Indonesia Merdeka

Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan UUD 1945. KUH Perdata Indonesia sebagai induk Hukum Perdata Indonesia. Belum adanya aturan hukum yang baru maka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan Aturan Peralihan maka masih diberlakukan Hukum Perdata tersebut di Indonesia. Secara yuridis formil, kedudukan KUH Perdata masih tetap sebagai undang-undang sebab tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang undang.

Soepomo pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947, “bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Dalam menanggapi perkembangan Hukum Perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudayaan nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebudayaan timur”

Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya”. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda seperti KUH Perdata, KUH Dagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti:

  • Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,
  • Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
  • Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995,
  • Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996,
  • Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999,
  • Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001,
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963, dll.

Sistematika Hukum Perdata

Sistematika KUH Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan KUH Perdata yang ada dan berlaku di negara lain, tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu atau dipengaruhi dari Hukum Romawi (Code Civil).

  1. Buku Kesatu tentang Orang (van persoon), yang memuat hukum mengenai Diri Seseorang dan Hukum Keluarga, terdiri dari 18 bab
  2. Buku Kedua tentang Kebendaan (van zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris, terdiri dari 21 bab
  3. Buku Ketiga tentang perihal Perikatan (van verbentennissen), yang teridiri dari 18 Bab
  4. Buku Keempat tentang perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (van bewijs en varjaring), yang terdiri dari 7 Bab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *