Pertanggungjawaban Penyertaan
Ayat (2) pasal 55 KUHP menyatakan dengan tegas bahwa hanya terhadap perbuatan yang sengaja digerakkan saja yang dapat dipertanggung perabkan kepada penggerak. Meskipun diikuti dengan kalimat ‘beserta akibatnya’. Dalam hal demikian berarti di satu pihak pertanggung jawaban penggerak dibatasi hanya terhadap perbuatan yang sengaja digerakkan, di lain pihak diperluas termasuk perbuatan yang merupkan akibat dari perbuatan yang sengaja digerakkan.
Oleh karena itu harus menjadi pertimbangan, apabila terjadi tindak pidana yang berlebih, apakah tindak pidana tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang digerakkan. Apabila terjadi tindak pidana yang berlebih, di mana menurut pemikiran bukan sebagai akibat logis dari perbuatan yang digerakkan, akan menjadi tanggung jawab dari orang yang digerakkan itu. Untuk mengetahui pertanggung jawaban yang diperluas ini, harus dicari kasus perkasus. Tidak mungkin dicari suatu kriteria umum, kapan suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana, adalah akibat dari perbuatan yang digerakkan oleh penggerak.
Penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking) terjadi apabila seseorang menggrakkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi perbuatan yang diinginkan oleh orang yang menggerakkan tidak terjadi. Umpamanya A dengan memberikan sejumlah uang menggerakkan B untuk membunuh C. B melaksanakan pembunuhan tersebut, akan tetapi ternyata C hanya luka dan tidak meniggal dunia. Secara yuridis A tidak mungkin dipersalahkan menggerakkan suatu pembunuhan. Pembunuhan itu tidak terjadi. Sehingga penggerakkan tidak terjadi.
Pada KUHP Belanda yang dibuat tahun 1881, tidak mengancam dengan pidana bagi seseorang penganjur di mana perbuatan yang dianjurkannya itu gagal. Bahkan melalui beberapa yurisprudensi itu gagal. Bahkan melalui beberapa yurisprudensi ternyata terhadap penggerakkan yang gagal, tidak dijatuhi pidana. Baru pada tahun 1924 pembuat undang- undang mengadakan perubahan dalam ketentuan ini, yakni dengan menambahkan pasal 134 bis dalam KUHP mereka tentang dapat dipidananya suatu penggerakkan yang gagal. Sehingga terjadi aneka pendapat terhadap suatu penggerakkan yang gagal ini. Oleh sebab itu pada akhirnya dilakukan penambahan dalam KUHP tentang penggerakan yang gagal.
Untuk KUHP Indonesia pasal tambahan itu adalah pasal 163 yang berbunyi:
- Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasala 55 ke-2 berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, dan kejahatan itu atau percobaan untuk itu dapat dipidana tidak terjadi, diancam dengan pidana penjara paling lama enak tahun atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, tetapi dengan pengertian bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat daripada yang dapat dijatuhkan karena percobaan itu tidak dapat dipidana karena kejahatan itu sendiri.
- Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Dengan adanya pasal di atas, penggerakkan yang gagal merupakan suatu kejahatan yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penggerakkan yang gagal tetap akan memidana bagi penggerak meskipun orang yang digerakkan sama sekali tidak melaksanakan perbuatan yang digerakkan. Sehingga mencoba melakukan penggerakkan saja sudah dapat dipidana. Bagi dapat dipidananya orang yang digerakkan, adalah sesuai dengan ajaran tentang ‘mencoba melakukan kejahatan’. Apabila orang yang digerakkan tersebut sudah dianggap melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan, dapat dipidana dengan percobaan melakukan kejahatan. Sedangkan apabila orang tersebut dengan sukarela mengundurkan diri dari perbuatan yang digerakkan oleh penggerak, dia tidak dapat dipidana. Ini sesuai dengan ajaran tentang mencoba melakukan kejahatan.
Ketentuan tentang penyertaan dirumuskan berdasarkan Pasal 55 KUHP mengambil over dari Pasal 47 Wetboek van Strafrecht yang dirumuskan sebagai berikut: Dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana:
- mereka yang melakukan, yang menyuruhlakukan dan turut serta melakukan perbuatan;
- mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalah. gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan
Dengan demikian menurut ketentuan tersebut bahwa ada 4 (empat) bentuk penyertaan perbuatan pidana yaitu menurut Pasal 155 ayat (1) antara lain: pelaku pelaksana (plegen); pembuat pelaku atau penyuruh (doen plegen); pelaku peserta (medeplegen); dan penganjur atau pembujuk atau perencana (uitlokken). Tanggung jawab pidana dari keempat peran dengan bentuk penyertaan tersebut sama dengan pembuat sendiri. Jadi dari uraian tersebut maka bentuk penyertaan pidanadalam KUH Pidana Indonesia adalah peserta pembuat pidana disebut mededader, sedangkan pemberi bantuan pidana disebut medeplichtig bukan merupakan penyertaan.
Jadi tidak tepat kalau menggunakan istilah medeplichtigheid berarti “sifat” bukan kata benda abstrak, padahal semua itu mengacu kepada pelaku jadi kata benda. Antara KUH Pidana Indonesia dengan Code of Penal Perancis terdapat kesamaan, yakni KUHP Perancis sama-sama tidak memasukkan pembantuan perbuatan pidana sebagai bentuk penyertaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHP Indonesia, sedangkan KUHP Amerika sebaliknya memperluas maksud Pasal 56 KUHP Indonesia yang hanya “sebelum” dan “ketika” perbuatan pidana terjadi, sedangkan KUHP Amerika menetapkanperbuatan pembantuan “sesudah” tindak pidana selesai sebagai penyertaan pidana.
Dari kenyataan ini bahwa ajaran penyertaan perbuatan pidana dapat “menyempit” seperti Perancis dan dapat pula “meluas”seperti di Amerika. Di dalam KUHP ada 2 (dua) bentuk penyertaan yaitu:
1. Para Pembuat (dader) Pasal 55 KUHP, adalah:
- Yang melakukan (pleger);
- Yang menyuruh melakukan (doen pleger);
- Yang turut serta melakukan (mede pleger);
- Yang sengaja menganjurkan (uitlokker).
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) Pasal 56 KUHP adalah:
- Pembantu pada waktu kejahatan dilakukan;
- Pembantu sebelum kejahatan dlakukan.
Demikian ini dapat diketahui, siapa-siapa yang dapat membuat delik dan sispa saja yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana:
1. Pembuat tunggal (dader) dengan kriteria:
- dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis;
- melakukan perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur dalam undang- undang.
2. Para Pembuat terdapat 4 bentuk yaitu: Yang melakukan (pleger); Yang turut serta melakukan (mede pleger); Yang turut serta melakukan (mede pleger); dan yang sengaja menganjurkan (uitlokker).
3. Pembuat Pembantu, yaitu: Pembantu pada waktu kejahatan dilakukan; dan Pembantu sebelum kejahatan dlakukan.
Antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah para pembuat secara langsung turut serta dalam pelaksanaan delik, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan sedikt maupun banyak bermanfaat dalam melaksanakan delik.
Pembantu (Medeplichtige)
Pembantuan terdapat didalam bab tentang penyertaan karena jelas dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam sebuah tindak pidana. Ada orang uang melakukan, yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain lagi yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.
Pasal 56 KUHP menyebutkan bahwa dipidananya sebagai pembantu kejahatan:
- Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan dilakukan.
- Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sebagaimana di dalam pasal 53 KUHP, pasal 56 ini memberikan ketentuan hanya pembantuan terhadap kejahatan yang dapat dipidana. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas dalam pasal 60 KUHP yang berbunyi: “membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana”
Penegasan yang diberikan oleh pasal 60 KUHP tersebut bukan hanya sebagai tambahan atas ketentuan yang sudah implisit dalam pasal 56 KUHP, akan tetapi diperlukan ketegasan untuk memberikan ketentuan bagi pembuat ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya dari undang-undang untuk tidak mengancam dengan pidana terhadap pembantuan delik pelanggaran. Membantu dalam pelanggaran tidak dipidana karena dianggap demikian kecil kepentingan hukum yang dilanggarnya.
Sifat Pembantuan
Dilihat dari perbuatannya, pembantuan ini bersifat (accesoir). Tetapi dilihat dari pertanggungjawabannya tidak accesoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.
Jenis Pembantuan
- Pada saat kejahatan dilakukan, caranya tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang.
- Sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam undang- undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Terdapat ajaran penyertaan objektif dan subjektif ditimbulkan adanya dua konsepsi yang saling bertentangan mengenai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu:
- Sistem yang berasal dari hukum Romawi
Menurut sistem ini tiap-tiap peserta sama nilaianya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan delik itu sendiri, sehingga mereka masing-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori penyertaan yang objektif. Sistem yang pertama ini dianut oleh Code Penal Perancis, dan dianut juga di Inggris. - Sistem yang berasal dari jurist Italia
Dalam abad pertengahan Menurut sistem ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilaianya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, adakalanya sama berat adakalanya lebih ringan dari pelaku.
Karena pertanggungjawabn juga berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang dijadikan Batasan masing-masing bentuk penyertaan dititikberatkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah dikenal dengan teori subjektif.
Sistem yang kedua ini dianut oleh KUHP Jerman dan Swis. Menurut Prof. Moeljatno, KUHP kita dapat digolongkan ke dalam Teori Campuran karena: Dalam Pasal 55 “dipidana sebagai pembuat dan dalam pasal 56 disebutkan “dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyerataan ini berarti dianut sistim yang pertama. Akan tetapi apabila dilihat perbedaan pertanggungjawabannya, yaitu pembantu dipidana lebih ringan dari si pembuat maka ini berarti dianut sistim kedua. Selanjutnya Prof. Moeljatno mengemukakan apabila pada dasarnya KUHP kita menganut sistem Code Penal (sistem pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut sistem KUHP Jerman (sistem kedua), maka konsekuensinya ialah:
- Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku, orang yang menyuruh melakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan adalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam daders” itu tidak perlu ditentuka secara subjektif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara objektif menurut bunyinya peraturan saja.
- Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (medplicthtige) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.
Pertanggungjawaban Pembantu
Pada prinsipnya KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), yaitu: Maksismum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1). Apabila kejahatan diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun (ayat 2). Pengeculian dalam prinsip ini terlihat dalam:
- Pasal 333 (4): pembantu dipidana sama berat dengan pembuat (lihat juga pasal 415 dan 417 KUHP) .
- Pasal 231 (3): Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat (lihat juga pasal 349).
Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si Pembuat (pasal 57(3)). Dalam mempertanggungjawabkan seorang pembantu, KUHP menganut sistem pertanggunganjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accesoir) artinya tidak ditergantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Prinsip yang demikian. terlihat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 57 (4); Dalam menentukan pidana bagi pembantu yang diperhitungkan. hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat- akibatnya.
- Pasal 58; Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan. pidana hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkuta itu sendiri.
Perbedaan antara Membantu dengan Ikut Serta
Di samping sulit untuk menentukan kapan suatu perbuatan seseorang dianggap ‘membantu’ terjadinya kejahatan, bentuk pembantuan ini mirip dengan bentuk ‘ikut serta’. Karena dalam kedua bentuk itu terdapat dua orang atau lebih yang bersama-sama melaksanakan suatu kejahatan. Permasalahan tentang perbedaan antara ‘ikut serta’ dan ‘pembantuan’ telah terjadi semenjak dibuatnya KUHP di negeri Belanda. Di Palemen Belanda timbul diskusi terhadap rancangan pasal tentang penyertaan ini. Semula untuk bentuk serta dirumuskan dengan istilah medewerkan yang berarti ‘bersama-sama melaksanakan’.
Salah satu anggota parlemen Belanda pada waktu itu mempersoalkan apa bedanya antara medewerkan dengan mendeplichtigheid (pembantuan), karena dengan kedua istilah tersebut berarti terdapat lebih dari satu orang yang sama-sama melaksanakan suatu tindak pidana. Pada akhirnya istilah medewerkan diganti dengan istilah Mendeplegen.
Untuk membedakan antara; ikut serta dengan ‘membantu’ terhadap tiga teori.
- Teori yang pertama disebut Teori Obyektif (De Obyectieve deelnemings theorie).
Sandaran teori ini adalah perbuatan sebagai obyek tindak pidana. Untuk membedakan antara ‘ikut serta’ dengan ‘membantu’ dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam bentuk ‘ikut serta’. Sedangkan apabila orang tersebut “perihal” nya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan ‘pembantuan’. Sebagai contoh, umpamanya A dan B bersama-sama melakukan pencurian. A yang mengambil barang-barang dari rumah korban. B hanya berdiri di luar rumah korban, hanya untuk memberikan isyarat apabila akan terjadi bahaya. Maka di sini B bukan ikut serta dalam pencurian itu. B hanya membantu A dalam melakukan pencurian. - Teori yang kedua adalah Teori Subyektif (De subyectieve deelnemings theorie).
Dalam teori ini sandarannya adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam ‘ikut serta’ pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam ‘pembantuan’ kehendaknya ditunjukkan ke arah ‘memberi bantuan’ kepada orang yang melakukan tindak pidana. Di samping perbedaan kehendak, dalam ‘ikut serta’ pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apabila dia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana. Sedang dalam ‘pembantuan’, tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuannya disandarkan kepada tujuan si pelaku utama. Artinya ‘pembantu’ hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana. Dalam hal kepentingan, peserta dalam ‘ikut serta’ mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan ‘pembantu’ kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan. - Teori yang ketiga adalah Teori Gabungan (verenigings theorie).
Teori ini lebih kepada penggunaan teori-teori terdahulu. Artinya dalam hal penerapan detik formil. Digunakan teori obyektif. Karena detik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam detik materiel digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang oleh undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif, dapat dilihat kehendak. Tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.
Dalam membedakan antara ‘ikut serta’ dengan ‘membantu’ di dalam praktik, sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk ‘ikut serta’, yakni terhadap kesadaran kerjasama dan kerjasama itu secara physik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasi sebagai ‘ikut serta’. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat di atas, peserta diklasifikasikan sebagai ‘pembantu’.
Terpenuhinya unsur-unsur dijelaskan pada Pasal 55 KUHpidana sebenarnya mengartikan ada dua hal yang harus dipahami dalam pembuktiannya, yaitu:
1. Sengaja melakukan kejahatan;
Banyak pakar hukum pidana mendefinisikan kesengajaan (opzet) dalam suatu tindak pidana. Undang-undang tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang sengaja. Namun dalam ketentuan KUHPidana lama, pelaku dapat dipidana karena adanya kesengajaan dalam melakukan tindak pidana secara sadar. Ada beberapa jenis kesengajaan:
- Kesengajaan yang bersifat tujuan
Kesengajaan yang bersifat tujuan dapat diartikan bahwa pelaku kejahatan benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman pidana. - Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan semacam ini ada apabila pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik. Akan tetapi pelaku tahu bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. - Kesengajaan keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan keinsyafan kemungkinan ini dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya memungkinkan, maka apakah perbuatan itu tetap akan dilakukan si pelaku.
2. Sengaja bekerjasama
Dalam hal ini perbuatan tindak pIdana yang dilakukan harus memenuhi kesengajaan yang dapat diartikan dengan sadar untuk melakukannya. Apabila kita menelaah lebih jauh kesengajaan dalam bekerja sama harus memenuhi syarat, yaitu;
- Adanya hubungan batin dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya sengaja dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana tersebut;
- Adanya hubungan batin antara dirinya dengan peserta yang lainnya dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 55 KUHPidana dapat terwujud apabila adanya otak pelaku kejahatan atau otak pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Dalam mewujudkan terlaksananya tindak pidana, para pelaku mempunyai kesengajaan yang didukung oleh hubungan batin untuk melakukan tindak pidana mulai dari persiapan hingga perbuatan kejahatan itu selesai dilaksanakan.
Perbedaan antara Membantu dengan Menggerakkan
Dalam membicarakan perbedaan antara ‘pembantuan’ dan ‘penggerakkan’ terutama karena dalam kedua bentuk penyertaan itu terdapat upaya yang sama. Dalam ‘penggerakkan’ upaya untuk menggerakkan dapat berupa memberikan KESEMPATAN, SARANA atau KETERANGAN. Demikian pula membantu sebelum terjadinya tindak pidana dibatasi dalam memberikan bantuan KETERANGAN, SARANA atau KETERANGAN. Sehingga harus dicari bentuk penyertaan yang mana, apabila suatu tindak pidana yang terjadi karena ada orang yang memberikan ketiga upaya tersebut.
Dalam membedakan antara kedua bentuk tersebut harus diperhatikan dari kehendak pelaku. Dalam bentuk ‘penggerakkan’ kehendak untuk melakukan tindak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan. Jadi dimulai oleh penggerak dengan memberikan daya upaya tersebut, barulah orang yang digerakkan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana. Tidak demikian halnya dalam bentuk ‘pembantuan’. Dari sejak semula dalam diri8 pelaku sudah ada kehendak untuk melakukan tindak pidana. Dari sejak semula sudah ada kehendak pelaku untuk melakukan kejahatan. pembantu baru kemudian memberikan bantuan salah satu yang disebutkan di atas.
Pentingnya diperbedakan antara kedua bentuk tersebut, karena posisi hukumannya yang berbeda antara ‘penggerak’ dan ‘pembantu’. Bagi penggerak diancam dengan pidana yang sama dengan pelakunya yang merupakan orang yang digerakkan. Sedangkan dalam ‘pembantuan, pembantu meskipun dengan upaya yang sama seperti tersebut dalam penggerakkan’ ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari pelaku yang dibantunya.
Pembantuan Pasif (passive medeplichtigheid)
Pembantuan pasif’ merupakan tidak melakukan sesuatu gerakan atau tindakan, tetapi dengan sifatnya yang pasif tersebut, dengan sengaja ia telah memberikan bantuan. Sifat yang tersebut terakhir itu menurut Hooge Raad dianggap pendapat yang sempit, yakni jika seseorang yang berdasarkan Undang-Undang atau perjanjian mempunyai kewajiban atau beban mencegah terjadinya kejahatan, lalu ia tidak berbuat demikian, maka ia adalah merupakan Pembantu.
Pendapat kedua yang lebih luas dan mendasari Arrest HR mengenai perbuatan yang bersifat melawan hukum yang pada prinsipnya adalah ‘kepatutan dalammasyarakat’ dijadikan ukuran. Maka seseorang dipandang sebagai Pembantu Pasif jika menurut kepatutan masyarakat seseorang berwajib untuk mencegah kejahatan yang disaksikan tetapi tidak melakukannya. Maka dalam hal ini soalnya bukan saja orang yang mempunyai kewajiban atau beban berdasarkan UndangUndang atau perjanjian tetapi juga sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat. Misalnya, bukan saja si penjaga gudang yang dianggap sebagai Pembantu Pasif apabila terjadi pencurian di gudang yang dijaganya, tetapi juga semua orang yang melihat adanya pencurian tersebut yang tidak melaporkannya. Dan dalam praktek hukum, pandangan Pembantuan Aktiflah yang diterapkan.
Bahwa terjadinya pembantuan pasif berdasarkan atas kewajiban yang terdapat dalam peristiwa tersebut. Akhirnya pada orang yang dianggap membantu memang terdapat kewajiban, dan kewajiban itu diabaikannya sehingga timbul tindak pidana. Di samping terdapat pembantuan pasif yang dikaitkan dengan pelaku tindak pidana, terdapat pula pembantuan pasif yang dianggap sebagai detik yang berdiri sendiri. Pasal 110 ayat (2) KUHP menyatakan: “pidana yang sama dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud hendak menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal 104, 106 dan 108,… dst.”
Dengan mempermudah terjadinya tindak pidana yang disebutkan di atas, berarti telah dianggap membantu meskipun secara pasif. Dan menurut pasal 110 KUHP di atas dianggap sebagai detik yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana sama dengan pelaku pokoknya.
Adapun penyertaan menurut RUU KUHP diatur dalam Pasal 22 sampai pasal 24, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
(Pasal 22)
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang:
- Melakukan sendiri tindak pidana;
- Melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
- Turut serta melakukan; atau
- Menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
(Pasal 23)
Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang dengan sengaja:
- Memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan tindak pidana
- Memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk Kembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori 1.
(Pasal 24)
Keadaan pribadi seseorang yang disuruh melakukan tindak pidana, yang furut serta melakukan tindak pidana, atau yang digerakkana, yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat dihapus, dikurangi, atau diperberat pidananya sesuai dengan keadaan pribadinya.
article by: Nawang Sari, Intan Ayu rahmawati, Syafa’ Laili Ikhsaniyah
Leave a Reply