PEMBUKTIAN DAN DALUARSA

Pembuktian Pada Umumnya

    Menurut Pasal 1865 KUH Perdata, pembuktian pada umumnya di mana setiap orang yang mengaku mempunyai   suatu   hak,   atau   menunjuk   suatu   peristiwa   untuk   meneguhkan   haknya   itu   atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.

    Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.

    Kebenaran yang diperoleh dari pembuktian, berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, di antaranya :

    1. Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
    2. Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
    3. Pengetahuan tentang pengalaman.

    Seperti yang dijelaskan dalam KUH Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa, Pasal 1865 bahwa, “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

    Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim :

    1. Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief). Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum teori ini adalah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
    2. Teori Hukum Subjektif. Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Teori ini berdasarkan Pasal 1865 KUH Perdata, bahwa “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
    3. Teori Hukum Objektif Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuanketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
    4. Teori Hukum Publik Teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik.
    5. Teori Hukum Acara Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

    Alat-Alat Bukti

    Alat pembuktian diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata, bahwa alat pembuktian meliputi: bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah.

    1. Alat Bukti Tertulis
    Alat bukti tertulis dalam Pasal 1866 KUH Perdata sebagai urutan pertama, ada juga yang menyebutkan alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting.

    2. Alat Bukti Saksi
    Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksisn merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di depan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwaperistiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi.

    3. Alat Bukti Persangkaan
    Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata yaitu, persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.

    4. Alat Bukti Pengakuan
    Pada dasarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian karena kalau telah mengaku, maka pihak lawan dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan hal tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan telah membuktikan hal tersebut. Akan tetapi, pemeriksaan di depan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

    5. Alat Bukti Sumpah
    Alat bukti sumpah merupakan alat bukti yang terakhir yang dijelaskan dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Dalam Pasal 1929 KUH Perdata ada 2 (dua) macam sumpah di hadapan hakim, yaitu:

    • Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus;
    • Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak.

      Dua Macam Sumpah

      Dalam undang-undang dikenal ada 2 (dua) macam sumpah, yaitu:

      1. Sumpah yang menentukan (decussiure eed), yaitu sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani menolak pengangkatan sumpah ia akan dikalahkan.
      2. Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang ada.

      Daluarsa atau Lewat Waktu

      Menurut Pasal 1946 KUH Perdata, lewat waktu atau daluarsa adalah suatu sarana untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewat suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluarsa acquisitive, sedangkan daluarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan dinamakan daluarsa extinctif. Dengan lewat 30 tahun hapus perikatan hukum dan tinggal perikatan bebas, yaitu suatu perikatan yang boleh dipenuhi debitur tetapi tidak dapat dituntut oleh kreditur melalui pengadilan.

      Dalam Pasal 1967 KUH Perdata ditentukan, bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluarsa apabila lewat dari 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukan adanya daluarsa tidak usah mempertunjukkan alas hak, lagi pula tidak dapat diajukan terhadap sesuatu tangkisan yang didasarkan pada itikat yang buruk.

      Pasal 1971 KUH Perdata, tuntutan para tukang kayu, tukang batu, dan tukang lainnya, tuntutan para pengusaha toko, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu 5 tahun.

      Dua Macam Daluarsa

      Ada 2 (dua) macam daluarsa (Verjaring), yaitu:

      1. Acquisitieve Verjaring Acquisitieve verjaring adalah lewat waktu sebagai cara memperoleh hak milik atas suatu benda. Syarat adanya daluwarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut. Seperti dalam Pasal 1963 KUH Perdata, bahwa “ Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun “. “ Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.
      2. Extinctieve Verjaring Extinctieve verjaring adalah seseorang dapat dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum. Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa dengan lewatnya waktu 30 tahun, setiap orang dibebaskan dari semua penagihan atau tuntutan hukum. Ini berarti, bila seseorang digugat untuk mebayar suatu hutang yang sudah lebih dari 30 tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan itu dengan hanya mengajukan bahwa ia selama 30 tahun belum pernah menerima tuntutan atau gugatan itu.

      Leave a Reply

      Your email address will not be published. Required fields are marked *