hukum perkawinan

HUKUM PERKAWINAN

hukum perkawinan

Pengertian Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 26 KUH Perdata, perkawinan hanya dilihat sebagai hubungan keperdataan saja. Perkawinan hanya sah jika memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan di dalam KUH Perdata, termasuk di dalam berpoligami adalah suatu pelanggaran terhadap ketertiban umum, artinya perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan rumusan tersebut, bahwa perkawinan bukan saja ikatan lahir batin tetapi mengikat kedua belah pihak. Sebagai ikatan lahir batin perkawinan, perkawinan adalah ikatan jiwa karena adanya kemauan yang sama, yang ikhlas sebagai suami isteri. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Syarat-Syarat Sah Perkawinan

Dalam KUH Perdata, untuk melaksanakan perkawinan yang sah, maka harus memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, yaitu:

  1. Kedua pihak telah berumur sesuai dengan yang ditetapkan undangundang, yaitu seorang laki-laki 18 tahun dan
    untuk perempuan 15 tahun;
  2. Harus ada persetujuan dari ke dua pihak;
  3. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan;
  4. Tidak ada larangan dahm undangundang bagi kedua pihak;
  5. Untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.

Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan lebih dahulu, yaitu :

  1. pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijke Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan;
  2. pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.

Terhadap beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten)
dilangsungkannya pernikahan, yaitu :

  1. kepada suami atau isteri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang hendak kawin;
  2. kepada orang tua kedua belah pihak;
  3. kepada jaksa (officier van justitie).

Seorang suami dapat menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari isterinya dan sebaliknya si isteri dapat menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari suaminya, sedangkan anak-anak pun dapat mencegah perkawinan yang kedua dari si ayah atau ibunya. Orang tua dapat mencegah pernikahan, jikalau anaknya belum mendapat izin dari mereka. Sebagai alasan bahwa setelah mereka memberikan izin kemudian mereka mengetahui yang calon mempelai berada di bawah curatele.

Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia dapat melangsungkan
pernikahan, ialah :

  1. surat kelahiran masing-masing pihak;
  2. surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang tua, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan dibuat itu;
  3. proses verbal dari mana ternyata perantaraan Hakim dalam hal perantaraan ini dibutuhkan;
  4. surat kematian suami atau isteri atau putusan percerai-an perkawinan lama;
  5. surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak;
  6. dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan untuk kawin.

Pegawai Pencatatan Sipil berhak menolak untuk melangsungkan pernikahan, apabila ia menganggap
surat-surat kurang cukup. Dalam hal yang demikian, pihak-pihak yang berkepentingan dapat memajukan
permohonan kepada Hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu sudah mencukupi

Pada asasnya seorang yang hendak kawin diharuskan menghadap sendiri di muka Pegawai Burgerilijkle
Stand itu dengan membawa dua orang saksi. Hanya dalam keadaan yang luar biasa dapat diberikan izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain menghadap yang harus dikuasakan secara otentik.

Suatu perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri sah, apabila dilangsungkan menurut cara yang berlaku di negeri asing yang bersangkutan, asal tidak bertentangan dengan negeri asal. Menurut Undang-undang Perkawinan, syarat-syarat sah perkawinan adalah :

  1. Adanya persetujuan kedua mempelai;
  2. adanya izin dari kedua orang tua atau wali;
  3. usia calon pria 19 tahun dan wanita 16 tahun;
  4. antara calon pria dan wanita tidak ada hubungan keluarga yang tidak boleh kawin;
  5. tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak yang lain;
  6. bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi dan bercerai, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin ketiga kalinya;
  7. tidak berada dalam masa tunggu bagi mempelai wanita.

Pembatalan perkawinan pada asasnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan
yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan, karna terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Oleh karenanya, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah menetapkan sebagai berikut:

  1. jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anakanak ini tetap mempunyai kedudukan sebagai
    anak yang sah;
  2. pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh perkawinan tersebut hak-hak yang semestinya didapat sebagai
    suami istri.
  3. orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena pembatalan perkawinan.

Larangan untuk kawin bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara
tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.

Izin kedua orang tua harus memberikan izin atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali pun harus memberikan izin dan kalau wali hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan.

Anak-anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tuanya, maka berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, maka dapat diminta campur tangan hakim dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.

Bagi anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih diperlukan izin dari orang tuanya. Tetapi kalau mereka tidak memberikan izin, maka anak dapat meminta perantara hakim. Dalam waktu 3 (tiga) minggu, hakim akan memanggil orang tua dan anak untuk mendengar penjelasan dalam sidang tertutup. Apabila orang tua tidak datang menghadap perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) bulan.

Perjanjian Perkawinan

Menurut KUH Perdata, sejak adanya perkawinan, maka harta kekayaan suami istri baik harta asal maupun harta bersama sebagai suami dan istri menjadi bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan. Jadi, perjanjian perkawinan adalah kesepakatan untuk memisahkan dan mengurus harta masing-masing dalam perkawinan sebagai suami istri.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), perjanjian perkawinan adalah kesepakatan yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. Perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh diubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.

Jika menurut UUP, bahwa harta asal dan harta bersama tetap tidak bersatu meskipun adanya perkawinan. Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak, sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.

Pasal 147 KUH Perdata, menegaskan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung, sedangkan pada Pasal 29 (1) UUP menegaskan bahwa pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Oleh karena itu, keabsahan perjanjian perkawinan tersebut cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah

Dalam Pasal 152 KUH Perdata menegaskan juga bahwa, perjanjian perkawinan tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan di mana akta perkawinan dibukukan.

Berbeda dengan Pasal 29 (4) UUP, bahwa pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Jadi, berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam perjanjian perkawinan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat perbedaan tentang perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata dengan UUP, terletak pada keabsahan dan kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga.

KUH Perdata mengatur “azas percampuran bulat” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 119 KUH Perdata, yang berarti bahwa kekayaan suami istri yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu menjadi harta persatuan, harta kekayaan mereka bersama. Jika mereka bercerai (meskipun baru 1 bulan menikah), maka kekayaan mereka itu harus dibagi 2, masingmasing ½ bagian. Berbeda dengan UUP yang mengikuti Pola Hukum Adat menganut “azas perpisahan harta” sebagaimana tercermin dalam Pasal 35 UUP, yang menentukan bahwa harta yang dibawa oleh masing-masing suami-istri (harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing, yang dicampur menjadi satu hanyalah harta yang diperoleh dari usaha bersama selama pernikahan (gono gini/harta bersama).

Dalam SEMA tanggal 20-8- 1975, diumumkan bahwa UUP yang sudah ada adalah peraturan tentang syarat-syarat dan tata cara untuk perkawinan, namun karena peraturan mengenai harta perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan dan juga tidak disebutkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP, maka Pasal 35 UUP sudah dianggap berlaku untuk semua pernikahan.

Pada dasarnya, perjanjian kawin perlu dibuat dalam rangka antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, antara lain perceraian, hutang piutang dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh suami/isteri. Berdasarkan Pasal 119 KUH Perdata dan Pasal 29 UUP, kedua asas itu bisa dilakukan penyimpangan, dengan membuat perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat. Perjanjian perkawinan mulai efektif berlaku bagi pasangan suami istri setelah dilangsungkannya perkawinan, sedangkan untuk pihak ketiga baru berlaku mulai hari pendaftarannya di Pengadilan Negeri. Bila perkawinan dilangsungkan pada hari yang sama dengan dibuatnya perjanjian perkawinan, maka harus dibuat jamnya. Perubahan perjanjian perkawinan selama perkawinan menurut Pasal 149 KUH Perdata tidak dapat dilakukan, sedangkan menurut Pasal 29 ayat (4) UUP perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika keduanya setuju dan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan tidak akan berlaku jika tidak diikuti dengan perkawinan (Pasal 154 KUH Perdata). Orang yang dapat membuat perjanjian perkawinan adalah mereka yang mempunyai syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat (Pasal 7 UUP: pria 19 tahun, wanita 16 tahun) dan yang berada di bawah pengampuan harus dibantu oleh mereka yang diperlukan ijinnya untuk melangsungkan pernikahan (Pasal 151 dan 151 KUHPerdata).

Isi perjanjian perkawinan terserah kepada dua belah pihak, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dan selain itu juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 140, 142 dan 143 KUH Perdata, yaitu:

  1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala (persatuan) rumah tangga.
  2. Menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang tua.
  3. Mengurangi hak-hak yang diperlukan undang-undang kepada yang hidup terlama.
  4. Melepaskan haknya sebagai ahliwaris menurut hukum dalam warisan anak-anaknya atau keturunannya.
  5. Menetapkan bahwa salah satu pihak menanggung hutang lebih banyak dari pada bagiannya dalam keuntungan. (Bila hal ini dilanggar maka apa yang diperjanjikan itu dianggap sebagai tidak tertulis, sehingga masing-masing akan menerima 1/2 bagian dari keuntungan dan memikul 1/2 bagian dari kerugian).

Suami adalah kepala persatuan rumah tangga dan mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya. Tanpa adanya perjanjian perkawinan, maka terjadilah persekutuan harta antara suami-istri, dengan suami memegang kekuasaan sebagai suami dan sebagai kepala persekutuan rumah tangga. Meskipun demikian, adanya persatuan harta dengan suatu perjanjian perkawinan dapat diadakan penyimpangan untuk “mengurangi” kekuasaan suami tersebut, sehingga istri dalam hal harta benda perkawinan mempunyai lebih besar kekuasaan/kebebasan. Dalam hal tersebut dapat diadakan 2 penyimpangan :

  1. dapat diperjanjikan bahwa si istri akan tetap mengurus harta bendanya sendiri baik bergerak maupun tidak bergerak, dan menikmati sendiri segala pendapatan pribadinya (hanya tindakan pengurusan, bukan tindakan pemilikan).
  2. barang-barang tidak bergerak, surat berharga serta piutang atas nama yang tercatat atas nama istri, baik yang dibawa pada waktu perkawinan maupun yang dimasukkannya selama perkawinan, tidak boleh dibebani atau dipindah tangankan oleh suami tanpa sepengetahuan istri.

Beberapa Macam Perjanjian Perkawinan

Beberapa macam perjanjian perkawinan, yaitu:

  1. Perjanjian perkawinan di luar persekutuan harta benda. Di antara suami istri diperjanjikan tidak adanya persekutuan harta benda sama sekali. Jadi bukan hanya tidak ada persekutuan harta benda menurut undang-undang, tapi juga persekutuan untung dan rugi, persekutuan hasil dan pendapatan serta percampuran apapun dengan tegas ditiadakan.
  2. Perjanjian perkawinan persekutuan hasil dan pendapatan. Hanya diperjanjikan adanya persekutuan hasil dan pendapat saja, sedangkan persekutuan harta menurut undang-undang tidak ada, hanya untung yang dibagi, kalau rugi, istri hanya turut memikul hingga bagiannya dalam keuntungan, terhadap kerugian selebihnya, istri tidak dapat dituntut.
  3. Perjanjian perkawinan persekutuan untung dan rugi. Hanya diperjanjikan adanya persekutuan untung dan rugi saja, sedangkan persekutuan menurut undangundang tidak ada. Jika dalam perjanjian perkawinan disebut “diluar persekutuan harta”, maka ada persekutuan untung dan rugi. Jika bila dikehendaki juga tidak adanya persekutuan untung dan rugi, maka harus dinyatakan dengan tegas.
  4. Perjanjian kawin di luar persekutuan harta benda. Pasal 139 KUH Perdata dan Pasal 29 UUP, menyatakan bahwa dalam perjanjian perkawinan tidaklah cukup kalau hanya disebut “perjanjian perkawinan di luar persekutuan” saja, tetapi harus juga dengan tegas disebut tidak ada persekutuan untung dan rugi, jika memang itu dikehendaki. Jika tidak disebut begitu, maka berarti ada persekutuan untung dan rugi (Pasal 144 KUHPerdata)

Dalam perjanjian perkawinan dengan modal ini maka :

  1. Tidak ada persekutuan dalam bentuk apapun juga.
  2. Harta masing-masing tetap milik masing-masing.
  3. Istri berhak mengurus hartanya sendiri serta bebas memungut hasilnya, tidak perlu bantuan suaminya.
  4. Hutang masing-masing juga menjadi tanggungan masingmasing.
  5. Biaya rumah tangga dan lain-lain menjadi tanggungan suami.
  6. Perabot rumah tangga dan lain-lain milik pihak istri.
  7. Pakaian, perhiasan, buku, perkakas dan alat-alat yang berkenaan dengan pendidikan/ pekerjaan masing-masing adalah milik pihak yang dianggap menggunakan barang itu.
  8. Barang bergerak lain yang karena hibah, warisan atau jalan lain selama perkawinan jatuh pada salah satu pihak, harus dapat dibuktikan asal usulnya.

Ada persekutuan harta benda menurut undang-undang, tetapi (oleh istri) dikehendaki adanya penyimpangan, maka perjanjian perkawinan terdiri dari :

  1. Perjanjian perkawinan dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 2 KUH Perdata.
  2. Perjanjian perkawinan dengan diperjanjikan pasal 140 ayat 3 KUH Perdata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *