SUMBER DAN DASAR HUKUM ISLAM

Sumber dan Dasar Hukum Islam

Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh adalah terjemah dari lafadz مصادر – مصدر, lafadz tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan dalil ( الدليل atau lengkapnya “ adillah syar’iyyah” ( األدلة الشرعية ). Sedangkan dalam literatur klasik, biasanya yang digunakan adalah kata dalil atau adillah syar’iyyah,  dan  tidak  pernah  kata   “mashadir  al-ahkam  al-syar’iyyah”  (   الشرعية مصادر األحكام ). Mereka yang menggunakan kata mashadir sebagai ganti al-adillah beranggapan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang sama.

Bila dilihat secara etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan kepada ‘syariah’. Kata sumber ( مصادر) , atau dengan jamaknya مصادر , dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan ‘dalil hukum’ berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Kata “sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. ijma dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah.

Al-quran

Secara bahasa (etimologi) Al-qur’an merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-a yang bermakna membaca atau bacaan. Ada yang berpendapat bahwa qur’an adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, karenanya ia berarti yang dibaca atau maqru’. Menurut para ahli bahasa, kata yag berwazan fu’lan memiliki arti kesempurnaan. Karena itu Al-qur’an adalah bacaan yang sempurna. Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW. Yang termaktub dalam mushaf, dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan”. Secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia.3 Allah Swt. berfirman: “Sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isra/17:9).

Hadist

Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Sedangkan menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (takrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut.

  1. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini.
  2. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
  3. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

Ijma’

Ijma menurut bahasa dan istilah dijelaskan dalam arti bahasa yang mempunyai dua arti, yang pertama adalah berusaha bertekad terhadap sesuatu. Sedangkan kedua artinya kesepakatan.

Qiyas

Qiyas  menurut  bahasa  yaitu  یماثلھ  التقدیر  للشيئ  بما  artinya  menetapkan  bagi sesuatu dengan apa yang semisalnya. Misalnya seseorang mengukur kain dengan meteran sama dengan ukuran kain yang lain. Berdasarkan pengertian qiyas maka apabila ada suatu kasus yang hukumnya telah ditetapkan dalam suatu nas dan ‘illat hukumnya telah diketahui menurut cara-cara me ngetahui ‘illat hukum, kemudian didapat pula suatu kasus lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nas, tetapi ‘illat hukumnya adalah sama dengan ‘illat hukum dari kasus yang telah memiliki nas tersebut, maka hukum kasus yang tidak ditetapkan oleh nas itu disamakan dengan hukum kasus yang telah ada nasnya, sebab adanya persamaan’ illat hukum pada kedua kasus itu.

Sumber Hukum atau Dalil Naqli

Pengertian

Dalam filsafat hukum Islam, “naqli” (dalil naqli) diartikan sebagai ilmu-ilmu yang diajarkan atau ditransformasikan. Dalam konteks hukum Islam, naqli merujuk pada sumber-sumber hukum yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits (As- Sunnah). Sumber hukum naqliyyah ada yang bersifat orisinal (aslî) dan ada yang bersifat tambahan (tab’î). Sumber hukum naqliyyah yang bersifat tambahan ini ialah ijma’. Oleh karena itu, seringkali para pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum ada tiga. Pertama al-Quran, kedua Sunnah, dan ketiga ijtihad. Ijma’ seringkali tidak disebut sebagai sumber hukum yang ketiga karena ijma’ merupakan sumber hukum naqliyyah ‘tambahan’ karena pada dasarnya bersumber pada al- Quran dan Sunnah juga.

Demikian pula sumber-sumber hukum Islam lainnya seperti qiyas, istihsan, istislah dan sebagainya, tidak lagi disebut sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad. Sumber hukum naqliyyah ada yang bersifat orisinal (aslî) dan ada yang bersifat tambahan (tab’î). Perlu dicatat bahwa sumber ijma’ yang menjadi sumber hukum yang mempunyai kekuatan yang tetap dan pasti (qath’î) ialah ijma’ Salaf yang berkenaan dengan apa yang disebut sesuatu yang diketahui sebagai pokok utama dalam ajaran agama atau yang disebut para pakar dan ulama Islam dengan sebutan: mâ ‘ulima al-dîn bi al-dlarûrah.

Penerapan Dalam Filsafat Hukum Islam

Penerapan Naqli dalam Hukum Islam merupakan aspek fundamental yang menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis dengan praktik hukum sehari- hari, tidak hanya itu Penerapan Naqli dalam filsafat ilmu hukum Islam melibatkan analisis mendalam mengenai bagaimana ajaran Al-Qur’an dan Hadis diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip dan praktik hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Naqli menyediakan fondasi utama bagi teori hukum Islam, sementara filsafat hukum Islam membantu menjelaskan dan mengembangkan prinsip-prinsip ini dalam konteks yang relevan. Tantangan dalam penerapan naqli termasuk menyeimbangkan prinsip-prinsip dasar dengan kebutuhan dan konteks sosial kontemporer, serta menangani perbedaan penafsiran di antara ulama.

Naqli juga bisa di terapkan di hukum pidana Islam, seperti hukuman hudud dan qisas, didasarkan pada teks-teks naqli. Filsafat hukum Islam menganalisis tujuan dan prinsip di balik hukuman-hukuman ini. Seperti contoh: Hukuman potong tangan untuk pencurian dalam Surah Al-Ma’idah [5]: 38 dan prinsip-prinsip hukum qisas dalam Surah Al-Baqarah [2]: 178.

Sumber Hukum atau Dalil Aqli

Pengertian ‘aqli’ dalam filsafat hukum Islam mengacu pada penggunaan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan penalaran dalam memahami dan menerapkan hukum Islam. “Aqli berasal dari kata “aql” yang menekankan pentingnya rasionalitas dan logika dalam proses pengambilan keputusan hukum sesuai prinsip syariah. ‘aqli’ dalam filsafat Islam juga mengacu pada penggunaan akal sebagai alat untuk memahami dan mencari kebenaran. Istilah tersebut berasal dari kata “aql” dalam bahasa Arab yang mempunyai beberapa arti antara lain hikmah dan kemampuan berbuat baik. Dalam konteks filsafat Islam, ‘aqli’ sering dipahami sebagai ilmu yang diperoleh melalui pemikiran rasional, bukan sekedar wahyu atau doktrin agama.

Pendekatan Aqli dalam studi Islam melibatkan penggunaan akal untuk memahami ajaran agama. Berbeda dengan pendekatan aqli yang mengutamakan kitab suci. Dalam konteks ini, aqli sering digunakan untuk mendukung diskusi ilmiah dan teologis Kalam, di mana akal dipandang sebagai alat untuk membantu manusia memahami apa yang tidak dapat dicapai oleh wahyu.

Secara keseluruhan, aqli dalam filsafat Islam mencerminkan pentingnya akal dalam pencarian kebenaran dan memahami ajaran agama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, kemampuan berpikir dan berefleksi manusia diakui sebagai bagian dari aktivitas spiritual dan intelektual.

Sumber Hukum atau Dalil Waqi’i

Dalam filsafat hukum islam fiqhul waqi’i adalah suatu pemahaman terhadap hukum- hukum Allah SWT di dalam Alquran dan sunah Rasulullah SAW, yang kemudian diterapkan pada suatu peristiwa atau masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.Istilah fiqhul waqi’i agak berbeda dengan pengertian fikih secara umum, yaitu pengetahuan tentang hukum syarak yang menyangkut perbuatan mukalaf, yang digali dari dalil-dalilnya secara rinci.Fikih secara umum adalah pengetahuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad, sedangkan fikih waqi’ adalah hasil ijtihad yang bertolak dari kenyataan objektif kehidupan manusia dan langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Fikih Waqi’ terdiri dari dua kata, yaitu “Fikih” dan “Waqi’.” Kata “Fikih” berasal dari bahasa Arab, “Al-fiqhu,” yang berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu masalah. Dalam konteks ini, Fikih adalah kemampuan untuk memahami suatu perkara dengan baik, yang sangat dihargai dalam Islam. Bahkan Rasulullah mendoakan agar Ibnu Abbas diberi pemahaman yang mendalam terhadap agama dan kemampuan untuk menafsirkan.

Kata “Waqi’” dalam kamus Munawwir berarti “yang terjadi” atau “yang ada menurut kenyataannya.” Jika digabungkan, secara bahasa Fikih Waqi’ berarti pemahaman mendalam atas apa yang terjadi.

Secara istilah, Fikih Waqi’ merujuk pada pemahaman yang mendalam terhadap realitas yang terjadi saat ini. Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang mufti atau hakim harus memiliki dua jenis pemahaman untuk bisa memberikan fatwa atau menetapkan hukum yang benar. Pertama, memahami realitas secara mendalam, termasuk faktor-faktor yang menyertainya. Kedua, memahami hukum Allah yang terkait dengan realitas tersebut, yang diturunkan dalam Alquran dan sabda Rasulullah.

Fikih Waqi’ berarti penguasaan yang baik, pengetahuan yang luas, dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi kekinian dan realitas kontemporer, baik internal maupun eksternal, yang meliputi aspek kekuatan, kelemahan, kelebihan, kekurangan, dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Semua ini sangat penting dalam mempertimbangkan dan mempengaruhi fatwa yang dikeluarkan oleh para mufti.

article by: Tsuroiya Fatma Salsabila, Wulan Sukma Purbaningrum, Muhammad Irfan Hakim, Muhammad Abdul Alim Al Fikri


#apaitu #Al-Quran #sunnah #hadits #ijma’ #qiyas #dalilnaqli #dalilaqli #dalilwaqi’i #sumberhukumislam #dasarhukum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *