PERBARENGAN TINDAK PIDANA (CONCURCUS)

PERBARENGAN TINDAK PIDANA (CONCURCUS)

Pengertian Concursus Perbarengan Tindak Pidana

Perbarengan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop yang berarti perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbarengan tindak pidana yaitu ketika pelaku telah berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut. Gabungan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan tetap.

Perbarengan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Sebenarnya di dalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasalnya diperoleh pengertian sebagai berikut:

Konsep perbarengan melakukan tindak pidana dalam KUHP terdapat tiga jenis, yakni, perbarengan peraturan (concurcus idealis), perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling) dan perbarengan perbuatan (concurcus realis). Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.

Macam-Macam Concursus

Dalam hukum pidana, perbarengan tindak pidana (concursus) terdiri dari tiga hal, perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (voorgezette handelings), dan perbarengan perbuatan (concursus realis).

Concursus Idealis/Eendaadse Samenloop: Perbarengan Peraturan (Pasal 63 KUHP)

Perbarengan Perbuatan atau yang dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan eendaadse samenloop yang tercantum dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi:

  1. Jika sesuatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan sanksi hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  2. Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Concursus Idealis terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan). Contohnya perkosaan di jalan umum, selain melanggar pasal 285 (12 tahun penjara) sekaligus juga pelanggaran pasal 281 (2 tahun 8 bulan) tentang kesusilaan. Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.

Concursus Idealis, Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan sistem hisapan (absorbsi stelsel), artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari aturan pidana itu, dan jika di antara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana khusus itu saja. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 63 mengenai sisitem hisapan pada perbarengan peraturan ini, dapat dikenakan ada 3 (tiga) kemungkinan, ialah:

  1. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang sama berat
  2. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak sama berat
  3. Pada perbarengan peraturan dimana satu perbuatan itu masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana yang khusus.

Perbuatan Berlanjut/Voortgezette Handeling (Pasal 64 KUHP)

Disebut perbuatan berlanjut yaitu apabila seseorang yang dalam kenyataannya memang melakukan beberapa perbuatan pidana, tetapi antara perbuatan pidana yang satu dan yang lainnya masing-masing berhubungan erat satu sama lain karena bersumber dari satu niat jahat pelaku tindak pidana. Dalam KUHP perbarengan yang berbentuk perbuatan berlanjut diatur dalam pasal 64 yang berbunyi:

  1. Jika antara beberapa perbuatan, meskipun perbuatan itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  2. Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau dirusak itu.
  3. Akan tetapi jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat I, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, atau 408.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 64 diatas, perbuatan berlanjut terjadi apabila tindakan masing-masing yang dilakukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai tindakan berlanjut. Ciri-ciri pokok sebagai kejahatan atau pelanggaran yang sedemikian rupa adalah:

  1. Rentetan perbuatan pidana yang terjadi harus timbul dari satu kehendak atau niat jahat
  2. Beberapa perbuatan pidana yang dilakukan haruslah sejenis atau sama kualifikasi deliknya
  3. Jarak waktu antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan perbuatan pidana yang lain tidak boleh terlalu lama.

Sistem penjatuhan pidana pada perbuatan berlanjut sama dengan perbarengan peraturan yakni sistem hisapan. Jika sistem hisapan dalam perbarengan peraturan dapat diterapkan pada 3 (tiga) kemungkinan atau tiga macam, tetapi sistem hisapan pada perbuatan berlanjut dibedakan antara sistem hisapan yang umum, dan sistem hisapan yang khusus.

Sistem hisapan yang berlaku umum, berlaku dalam 2 kemungkinan (dua macam), yaitu:

  1. Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana (sejenis) yang diancam dengan pidana pokok yang sama, maka yang diterapkan ialah satu aturan pidana saja (tanpa ada pemberatan).
  2. Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana (sejenis) yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama beratnya, maka yang diterapkan adalah aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat (tanpa pemberatan).

Sedangkan yang dimaksud dengan sistem hisapan khusus pada perbuatan berlanjut, ialah yang hanya berlaku khusus dalam tindak pidana yang disebutkan secara khusus oleh undang-undang, dan ini dapat dianggap sebagai perkecualian dari sistem hisapan umum
yang diterangkan di atas. Sistem hisapan yang khusus ini berlaku. dalam dua hal, yaitu:

  1. Dalam hal si pembuat dipersalahkan karena melakukan. tindak pidana pemalsuan uang yang sekaligus dia menggunakan uang palsu, atau si pembuat dipersalahkan melakukan tindak pidana perusakan mata uang yang sekaligus dia menggunakan uang rusak yang dihasilkan oleh perbuatannya itu.
  2. Dalam hal si pembuat melakukan kejahatan-kejahatan yang dirumuskan. dalam Pasal-Pasal 364, 373, 379, dan 407 Ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan jumlah nilai kerugian yang ditimbulkannya melebihi dari 250, maka hanya dijatuhkan satu pidana saja.

Concursus Realis/Meerdase Samenloop: Perbarengan Perbuatan (Pasal 65 s/d 71)

Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).Sistem pemberian pidana bagi concursus. realis ada beberapa macam, yaitu:

  1. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam.
  2. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak
  3. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan system kumulasi, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
    • Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 52 (penganiayaan ringan), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum. pidana penjara 8 bulan.
    • Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkaraperkara diadili pada saat yang sama.

PEMIDANAAN TERHADAP PERBARENGAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS)

Perbarengan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan gabungan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan tetap.

Perbarengan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 Buku I Bab VI. Dari Pasal Pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.

Adanya perbarengan tindak pidana ini, menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada karena adanya perbarengan melakukan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapatkan putusan akhir. Dalam sistematika KUHP peraturan tentang perbarengan perbuatan pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu: “kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana berlainan, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana adalah mengenai bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan, dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi pelaku Perbarengan Tindak Pidana, yaitu:

  1. Stelsel Absorsi Murni atau Stelsel penyerapan murni, Dalam sistem ini, pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64 KUHP, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan dilanjutkan.
  2. Stelsel Absorbsi yang Dipertajam, Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum. hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65 KUHP.
  3. Stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni,Adalah sistem untuk tindak pidana yang diancamkan atau dikenankan sanksi masing-masing tanpa pengurangan. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
  4. Stelsel Komulasi terbatas, Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.

Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni, stelsel absorsi yang dipertajam, dan stelsel komulasi terbatas. Sementara itu stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.

article by: Keysha Nazifa Oktari, Eli Mulyaningsih, Insan Aziz Adyatma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *