Alasan-Alasan Hapusnya Kewenangan Penuntutan
Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada dasarnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili, dan jika dalam persidangan dapat dibuktikan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, maka akan diputuskan bersalah untuk dapat dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman pidana dari peraturan pidana yang dilanggar. Namun demikian, dalam kenyataan hukum tidak selalu demikian adanya, karena terdapat hal-hal yang menurut hukum, hak untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur. Dasar aturan hak untuk melakukan penuntutan pidana diadakan, dengan maksud agar tercipta kepastian hukum bagi seseorang, sehingga terhindar dari keadaan tidak pasti atau tidak menentu dalam menghadapi penuntutan pidana. Tentang hapusnya kewenangan atau hak untuk menuntut pidana ini diatur baik dalam KUHP maupun di luar KUHP yaitu dalam UUD 1945.
Di dalam KUHP, mulai Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP disebutkan bahwa ada empat hal yang dapat menggugurkan penuntutan pidana yaitu:
Nebis In Idem
Nebis in idem (non bis in idem) berasal dari bahasa latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama. Dalam kamus hukum, Nebis in idem artinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengdilan. Didalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 76; Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
- Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum
- Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankan telah hapus karena daluwarsa.
Dari bunyi Pasal 76 ayat (1) KUHP ini terlihat bahwa asa ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Azas nebis in idem ini termasuk salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya telah pernah diputus suatu tindak pidana baik putusan itu berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
Tersangka Meninggal Dunia
Pasal 77 KUHP menentukan bahwa: “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia.”6 Ketentuan ini adalah sebagai konsekuensi dari sifat pidana yang hanya didasarkan atas kesalahan diri pribadi seorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seorang pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang masih hidup. Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka, penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, pertanggungjawaban pidana itu adalah pertanggungjawaban personal atau individual, artinya tidak bisa dibebankan kepada orang lain.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana memang berbeda dengan pertanggungjawaban dalam hukum perdata, dimana dalam hukum eprdata mengenal pengalihan pertanggungjawaban terhadap ahli waris. Sehubungan dengan hapusnya kewenangan untuk melakukan penuntutan karena terdakwa/tersangka meninggal dunia, berikut ini contoh kasus yang mendapatkan putusan dari Mahkamah Agung: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 29/K/Kr/1974 tanggal 19 November 1974 memutuskan: hak untuk menunutut hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia, oleh karena mana permohonan kasasi dari jaksa dinyatakan tidak dapat diterima.
Daluwarsa atau Lampau Waktu
Apabila suatu tindakan pidana oleh karena beberapa hal tidak diselidiki dalam waktu yang agak lama, maka masyarakat tidak begitu dirasakan perlunya dan manfaatnya menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini terutama berlaku bagi tindak-tindak pidana yang ringan, yaitu golongan pelanggaran seluruhnya dan golongan kejahatan yang diancam dengan hukuman kurungan, terlebih hukuman denda. Untuk kasus-kasus yang demikian, maka apabila lebih lama pengusutuan tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan lebih sulit lagi untuk mendapatkan bukti-bukti yang cukup apabila kemudian tersangka/terdakwa tidak mengakui akan perbuatannya.
Dengan dasar pertimbangan hal-hal yang demikian, maka pembentuk undang-undang dalam hal ini KUHP dalam Pasal 78 menentukan bahwa: “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa”. Ketentuan tentang daluwarsa di dalam KUHP diatur mulai Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP. Dalam bahasa Belanda, daluwarsa dikenal dengan verjaring, ‘verjaring’ yang dimaksud dengan verjaring adalah: pengaruh dari lampau waktu yang diberikan oleh Undang-Undang untuk menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana.
Alasan-Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
Alasan terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh pengdilan adalah merupakan penerapan hukum terhadap seseorang yang telah dijatuhi sanksi pidana pada suatu saat harus dihentikan. Menurut KUHP, hapusnya kewenangan untuk menjalankan pidana dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
Matinya Terdakwa (Pasal 83)
Dalam Pasal 83 KUHP ditentukan bahwa “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Matinya terpidana sebagai alasaan penghapusan untuk menjalankan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Pada dasarnya yang harus menanggung akibat dari suatu tindak pidana adalah orang yang berbuat atau pelaku dan tidak pada orang lain. Hukum pidana tidak mengenal pengalihan pertanggungjawaban, yang melakukan tindak pidana yang harus bertanggungjawab terhadap akibat yang terjadi dan harus menjalani hukuman yang dijatuhkan.
Namun pada saat pelaku atau yang berbuat tindak pidana meninggal dunia maka seacara praktis pidana tidak dapat dijalankan lagi. Memang dapat dimengerti bahwa seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan, sebelum terpidana menjalani pidana dan kemudian meninggal dunia, maka dengan sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur,Apabila terdakwa meninggal duniasetelah kepadanya dijatuhi hukuman denngan putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (gewijsde), maka menurut Pasal 83 KUHP gugurlah (verwalt) hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti perampasan barang-barang.
Pendapat Wirjono Prodjodikoro sebenarnya kurang tepat, karena ia menyatakan bahwa gugurnya hak menjalankan pidana selain pidana pokok juga pidana tambahan. Karena pidana pokok yang berupa pemidanaan atau pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa dengan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum yang tetap itu tidaklah dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain untuk menjalaninya yaitu ahli warisnya, tetapi untuk pidana tambahan berupa pidana denda dan pidana perampasan barang-barang, hal ini bisa sebenarnya dijalankan oleh terpidana sebelum ia meninggal dunia, sebab untuk pidana tambahan berupa pidana perampasan barang-barang maka, barang-barang tersebut sudah disita terlebih dahulu pada saat proses pemeriksaan, jadi dapat langsung dilakukan eksekusi bila terpidana meninggal dunia.
Untuk pidana denda, pengadilan dapat melakukan penyitaan ataupun menuntut pembayaran atas denda yang dijatuhkan, kecuali pidana denda yang dijatuhkan digantikan dengan pidana kurungan karena terpidana tidak sanggup untuk membayarnya. Sebab pidana denda yang dijatuhkan sangat bermanfaat sebagai sumber pendapatan negara, dan ini tentunya dapat dibebankana pada harta benda terpidana yang ditinggalkan pada keluarganya, demikian pula dengan pidana perampasan barang-barang yang dapat ditetapkan untuk menjadi milik negara.
Daluwarsa (Pasal 84-85)
Pasal 84 ayat (1) KUHP menentukan: “Kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa”. Ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHP ini berarti bahwa kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewat waktu tertentu. Ketentuan lewatnya waktu tertentu yang menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana, berlatar belakang pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara. Suatu pemidanaan yang telah dijatuhkan kepada seorang terpidana namun dalam waktu yang sekian lama tidak juga dapat dijalankan kepada terpidana, tidaklah dapat dibenarkan sebab kalau keadaan ini terus berlangsung maka tidak ada kepastian hukum. Keadaan ini tentunya membawa suatu situasi yang tidak baik yang menderitakan bagi terpidana, sangat mengganggu ketenangan hiupnya bahkan merupakan suatu penderitaan batin, oleh karena itu pada waktu tertentu harus diakhiri. Menjalani pidana bagi terpidana di dalam sel di lembaga pemasyarakatan tentunya merupakan suatu penderitaan yang tidak diinginkan oleh terpidana, itu sebabnya lampau waktu untuk menjalankan pidana haruslah ditentukan untuk adanya kepastian hukum bagi terpidana itu sendiri. Demikian pula bagi negara, dengan berakhirnya hak negara untuk menjalankanpidana, maka dapat diakhiri pula kewajibannya untuk melaksanakan pidana terhadap terpidana yang sudah sekian lama tidak dapat dijalankan.
Dalam Pasal 84 ayat (2) KUHP diatur tentang tenggang waktu untuk menjadi daluwarsa atau lewat waktunya kewenangan untuk menjalankan pidana, dan untuk semua tindak pidana tidaklah sama daluwarsanya. Pasal 84 ayat (2) KUHP menentukan sebagai berikut:
- Mengenai semua pelanggaran, lamanya adalah 2 (dua) tahun
- Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana percetakan, lamanya adalah 5 (lima) tahun
- Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya, lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntut pidana ditambah dengan sepertiga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 84 KUHP, pelaksanaan pidana menjadi gugur karena daluwarsa jika pidana jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana bukan pidana atau hukuman mati. Bagi terpidana yang dijatuhi pidana atau hukuman mati, maka aturan mengenai daluwarsa sebagai alasan penghapusan menjalankan pidana tidaklah dapat diberlakukan. Bagaimana dengan terpidana yang dijatuhi pidana atau hukuman seumur hidup, bagaimana tenggang waktu daluwarsanya? Ternyata KUHP tidak mengaturnya.ini merupakan kelemahan dari KUHP.
- Menurut Adam Chazawi, perhitungan tenggang daluwarsa untuk kejahatan-kejahatan lainnya adalah:
- Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, maka tenggang dakuwarsanya adalah 8 (delapan) tahun, (6 tahun ditambah dengan sepertiganya)
- Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih 3 (tiga) tahun, maka tenggang daluwarsanya adalah 16 tahun, (12 tahun ditambah sepertiganya).
Selain ketetuan dalam Pasal 84 ayat (2) KUHP, ketentuan hapusnya hak untuk menjalankan pidana karena kadaluwarsa juga diatur dalam Pasal 78 ayat (2) KUHP, yang menentukan bahwa untuk orang yang pada saat melakukan perbuatan pidana, umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa dikurangi menjadi sepertiga.
Pada ayat 3 ditetapkan bahwa tidak ada daluwarsa untuk kewenangan menjalankan pidana mati.
- Menurut Pasal 85 ayat (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada kesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkrascht van gewijsde (putusan yang berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang dapat dijalankan, bertepatan dengan saat putusan hakim yang berkekuatan tetap. Tetapi ada keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek vonnis” (keputusan di luar hadirnya terdakwa).
- Pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan/mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (Pasal 85 ayat (2)) yaitu:
- Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana. Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
- Jika pelepasan bersyarat dicabut. Dalam hal ini, pada esok harinya setelah pencabutan mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung). Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (Pasal 85 ayat (3)) yaitu:
- Selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan Undang-Undang yang berlaku (misal dalam hal ada grasi atau herziening)
- Selama terpidana dirampas kemerdekaan itu berhubungan dengan pemidanaan lain.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi/diringankan. Sehingga dapat berupa:
- Tidak mengeksekusi seluruhnya
- Hanya mengeksekusi sebagian saja
- Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti dengan penjara seumur hidup.
Grasi diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1950 (L.N. 1950 No. 40). Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tersebut, tiap-tiap permohonan grasi kecuali terhadap pidana denda, menunda eksekusi pidana atau mepertangguhkan apabila telah dimulai.
Gugurnya Kewenangan Penuntutan Dan Pelaksanaan Pidana Dalam Konsep KUHP Baru
Alasan-alasan gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana dalam konsep
KUHP 2006 s/d 2008, diatur sebagai berikut:
Pasal 145
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
- Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
- Terdakwa meninggal dunia
- Daluwarsa
- Penyelesaian diluar proses
- Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II
- Maksumum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana dena paling banyak kategori III
- Presiden memberi amnesti atau abolisi
- Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian
- Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali
- Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Pasal 153
Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika:
- Terpidana meninggal dunia
- Daluwarsa eksekusi
- Terpidana mendapat grasi dan amnesti
- Rehabilitas
- Penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
article by: Annisa Rahma Pratiwi, Dwi Puspitasari, Alvi Anggraini
Leave a Reply