ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENJALANKAN PIDANA

ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENJALANKAN PIDANA

Alasan Hapusnya Kewenagan Menjalankan Pidana

Alasan terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan adalah merupakan penerapan hukum terhadap seorang yang telah dijatuhi sanksi pidana pada suatu saat harus dihentikan.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hapusnya hak untuk menjalankan pidana atau kewenangan menjalankan pidana dapat hapus, dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:

Matinya Terdakwa (Pasal 83 KUHP)

Dalam Pasal 83 KUHP ditentukan bahwa: “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.” Matinya terpidana sebagai alasan penghapusan untuk menjalankan pidana berpijak pada sifat pribadi pertanggung jawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Pada dasarnya yang harus menanggung akibat dari suatu tindak pidana adalah orang yang berbuat atau pelaku dan tidak pada orang lain.

Hukum pidana tidak mengenal pengalihan pertanggungjawaban, yang melakukan tindak pidana yang harus bertanggungjawab terhadap akibat yang terjadi dan harus menjalani hukuman yang dijatuhkan. Namun pada saat pelaku atau yang berbuat tindak pidana meninggal dunia maka seacara praktis pidana tidak dapat dijalankan lagi. Memang dapat dimengerti bahwa seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan, sebelum terpidana menjalani pidana dan kemudian meninggal dunia, maka dengan sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur.

Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (gewijsde), maka menurut Pasal 83 KUHP gugurlah (verwalt) hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti perampasan barang-barang.

Kadaluwarsa (Pasal 84-85 KUHP)

Pasal 84 ayat (1) KUHP menentukan: “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa.” Ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHP ini berarti bahwa kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewat waktu tertentu. Ketentuan lewatnya waktu tertentu yang menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana, berlatar belakang pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara.

Dalam Pasal 84 ayat (2) KUHP diatur tentang tenggang waktu untuk menjadi daluwarsa atau lewat waktunya kewenangan untuk menjalankan pidana, dan untuk semua tindak pidana tidaklah sama daluwarsanya.Pasal 84 ayat (2) KUHP menentukan sebagai berikut:

  • Mengenai semua pelanggaran, lamanya adalah 2 (dua) tahun.
  • Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana percetakan, lamanya adalah 5 (lima) tahun.
  • Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya, lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah dengan sepertiga.

Berdasarkan ketentuan Pasal 84 KUHP, pelaksanaan pidana menjadi gugur karena daluwarsa jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana bukan pidana atau hukuman mati. Bagi terpidana yang dijatuhi pidana atau hukuman mati, maka aturan mengenai daluwarsa sebagai alasan penghapusan menjalankan pidana tidaklah dapat diberlakukan.

Grasi

Grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau menukar hukum pokok yang berat dengan suatu pidana yang lebih ringan. Grasi berarti ampun, ampunan atau pengampunan yang diberikan oleh Kepala Negara yaitu Presiden, hanya Presiden saja yang berhak memberikan grasi kepada orang yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan.

Grasi tidak menampik putusan hakim yang terlibat. Keputusan hakim tetap, namun eksekusinya ditiadakan atau dikurangi/diringankan. Jadi pengampunan dari Presiden, dapat berupa:

  1. tidak mengeksekusi seluruhnya
  2. hanya mengeksekusi sebagian saja
  3. mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.

Grasi diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 (L.N. 1950 No. 40). Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tersebut, tiap-tiap permohonan grasi kecuali terhadap pidana denda, menunda eksekusi pidana atau mempertangguhkannya apabila telah dimulai.

Pemberian Amnesti dan Abolisi dari Presiden

Di dalam Pasal 14 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti dan abolisidan rehabilitasi. Ketentuan ini juga diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, Lembaran Negara No. 146 Tahun 1954 Pasal 1 yang berbunyi: “Presiden atas kepentingan negara dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan sesuatu tindak pidana.” Apa yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 ini adalah merupakan hak prerogatif dari Presiden yang dapat diberikan oleh Presiden kepada orang-orang yang melakukan sesuatu tindak pidana. Dalam memberikan amnesti dan abolisi, maka Presiden harus mendapat nasehat tertulis dari Mahkamah Agung yang dimintakan oleh Menteri Kehakiman.

Amnesti adalah pengampunan dari Presiden yang mengapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Amnesti ini dapat diberikan kepada seorang yang telah melakukan tindak pidana, baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan. Abolisi merupakan pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku tindak pidana. Abolisi ini hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada putusan pengadilan.Amnesti dan abolisi ini adalah merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.

Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana Dalam Konsep KUHP
Baru

Pengaturan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana di dalam suatu kebijakan hukum pidana dipandang penting, karena hendak memberikan pelindungan bagi subjek hukum, baik pelaku maupun orang lain. Gugurnya kewenangan penuntutan pidana, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1946 maupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023), berlaku ketika masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Sementara itu, gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana berlaku ketika perkara pidana tersebut telah diputus oleh pengadilan dan putusannya telah memperoleh berkekuatan hukum tetap.

Gugurnya Kewenangan Penuntutan (Mulai Pasal 132)

Sesuai Pasal 132 ayat (1) KUHP 2023, kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila:

Pertama, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf a KUHP 2023, terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama. Sebelumnya,pengaturan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan dengan alasan demikian dapat dijumpai di dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP 1946 yang merumuskan, “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap”.

Demikian ditegaskan di dalam penjelasan menurut Pasal 132 ayat (1) huruf a KUHP. Dalam prinsip tersebut, tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena melakukan suatu tindak pidana tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuatan itu lagi, tetapi juga apabila dalam perkara pertama dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging), maka atas perbuatan yang sama itu tidak boleh dilakukan penuntutan lagi. Alasan adanya prinsip ini berkaitan dengan para anggota masyarakat akan suatu kepastian dan ketentraman di dalam hidupnya.

Kedua, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf b KUHP 2023, kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Menurut penjelasannya, apabila seorang tersangka atau terdakwa meninggal dunia, tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap perkara tersebut. Tidak dilakukannya penuntutan karena kesalahan seseorang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.

Ketiga, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf c KUHP 2023,kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila kedaluwarsa. Di dalam penjelasannya, pasal tersebut dinyatakan “Cukup jelas”. Hal ini mengingat ketentuan mengenai kedaluwarsa baru diatur kemudian di dalam Pasal 136 KUHP 2023 sampai dengan Pasal 139 KUHP 2023.

Keempat, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf d KUHP 2023,kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.Di dalam penjelasan terhadap Pasal 132 ayat (1) huruf d KUHP 2023, bagi tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda kategori I atau kategori II, dinilai cukup jika terhadap orang yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan, asal membayar denda maksimum yang diancamkan. Penuntut umum harus menerima keinginan terdakwa untuk memenuhi maksimum denda tersebut.

Kelima, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf e KUHP 2023, kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III7 Di dalam penjelasan terhadap Pasal 132 ayat (1) huruf e KUHP 2023, ketentuan tersebut dapat diberlakukan apabila penuntut umum menyetujui keinginan terdakwa untuk membayar maksimum pidana denda untuk menggugurkan penuntutan. Sayangnya, KUHP 2023 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, khususnya batasan-batasan terhadap kata “menyetujui” yang menjadi kewenangan penuntut umum untuk menggugurkan penuntutan.

Keenam, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf f KUHP 2023,kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan. Penjelasan terhadap Pasal 132 ayat (1) huruf f KUHP 2023 menegaskan, terhadap tindak pidana yang hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, maka apabila pengaduan ditarik kembali dianggap tidak ada pengaduan, asalkan dilakukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dalam KUHP 2023.

Ketujuh, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf g KUHP 2023,kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Di dalam bagian penjelasan, Pasal 132 ayat (1) huruf g KUHP 2023 dinyatakan “Cukup jelas”. Padahal, di dalam pembahasan DIM RKUHP 2023, beberapa fraksi memberikan beragam catatan terhadap ketentuan pasal tersebut.

Kedelapan, menurut Pasal 132 ayat (1) huruf h KUHP 2023,kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila diberikannya amnesti atau abolisi. Di dalam bagian penjelasan, Pasal 132 ayat (1) huruf g KUHP 2023 dinyatakan “Cukup jelas”. Amnesti dan abolisi dapat dijumpai penyebutannya di dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan pengaturannya di dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (UU Darurat No. 11 Tahun 1954).

Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana

Apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), maka jaksa dapat melakukan eksekusi terhadap terpidana sesuai dengan pidana yang telah dijatuhkan. Namun demikian, di dalam beberapa keadaan tertentu, ternyata terpidana tidak dapat menjalankan pidana yang telah dijatuhkan hakim kepadanya, sehingga jaksa tidak dapat melakukan eksekusi Pasal 140 KUHP 2023 menentukan 4 (empat) kemungkinan kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, yaitu terpidana meninggal dunia, kedaluwarsa, terpidana mendapat grasi atau amnesti, atau penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.

Pertama, menurut Pasal 140 huruf a KUHP 2023, kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur apabila terpidana meninggal dunia. Di dalam bagian penjelasan, Pasal 140 huruf a KUHP 2023 dinyatakan “Cukup jelas”.Sebelumnya, pengaturan yang demikian dapat dijumpai di dalam Pasal 83 KUHP 1946 yang mengatur, “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.”

Kedua, menurut Pasal 140 huruf b KUHP 2023, kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur apabila kedaluwarsa. Di dalam penjelasan terhadap Pasal 140 huruf b KUHP 2023, yang dimaksud dengan “kedaluwarsa” adalah kedaluwarsa dalammelaksanakan putusan pengadilan. Tentu, putusan pengadilan tersebut adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ketiga, menurut Pasal 140 huruf c KUHP 2023, kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur apabila terpidana mendapat grasi atau amnesti. Grasi, yang disebut di dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dan diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010, merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh presiden. Sementara itu, amnesti, yang disebutkan di dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 dan diatur di dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954, merupakan pernyataan pengampunan atau penghapusan hukuman kepada umum yang telah melakukan tindak pidana dengan memperhatikan pertimbangan DPR RI.

Keempat, menurut Pasal 140 huruf d KUHP 2023, kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur apabila penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain. Sebelumnya, di dalam pembahasan DIM RKUHP 2023,F-Demokrat mempertanyakan tentang keberlakukan asas teritorial dalam hukum pidana. Oleh karena itu, perlu ditegaskan, dalam konteks penyerahan pelaksanaan pidana ke negara lain adalah menyangkut pelaksana tindak pidana pidana warga negara asing yang negaranya terikat melalui perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

article by: Faza Awliya Ramadhani, Vernanda Muna K.N, Sailinal Maisaroh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *