Residivis Diluar KUHP
Residivis berasal dari bahasa Prancis yang di ambil dua kata latin, yaitu re dan co, re berarti lagi dan co berarti jatuh. Maka recidivis berarti suatu tendensi berulang kali hukum karena telah berulang kali melakukan kejahatan, dan mengenai residivis adalah berbicara tentang hukum yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang sama atau serupa.
Residivisme dalam pemahaman umum dipahami sebagai suatu istilah luas yang mengacu pada perilaku kriminal kambuhan (relapse of criminal behavior), termasuk karena suatu penangkapan kembali (rearrest), penjatuhan pidana kembali (reconviction), dan pemenjaraan kembali (reimprisonment).
Residivis juga diartikan sebagai orang yang melakukan pengulangan tindak pidana. Sedangkan residivisme (recidivism) dimaknai sebagai kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu.
Namun sebagai suatu konsep dalam hukum pidana, seseorang baru dapat disebut residivis atau melakukan perbuatan residivisme apabila orang tersebut melakukan pengulangan tindak pidana dengan syarat-syarat tertentu yang kemudian dapat berimplikasi pada pemberatan hukuman baginya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu definisi khusus mengenai residivisme, serta tidak pula mengaturnya secara khusus dalam Aturan Umum di Buku I KUHP.
Residivisme yang dalam istilah KUHP disebut sebagai “pengulangan tindak pidana” diatur secara tersebar dalam BUKU II dan Buku III KUHP. Bahkan ada pula pengaturan mengenai pengulangan tindak pidana yang diatur tersendiri secara lex specialis dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, yakni terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (UU Psikotropika), serta dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
UU Narkotika mengaturnya dalam Pasal 144 ayat (1) yang pada pokoknya menentukan bahwa setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika, pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga). KUHP hanya mengenal model pengancaman pidana tunggal atau ancaman pidana alternatif. Artinya, hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single penalty).
Beberapa undang-undang diluar KUHP telah menyimpangi pola umum pengancaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung “dan”di antara dua jenis pidana yang diancamkan) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau” (diantara dua jenis pidana yang diancamkan). Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties), yang dapat dipandang sebagai pemberatan pidana.
Demikian pula dalam hal ancaman pidana yang menggunakan model alternatif kumulatif, dijatuhkan oleh hakim menjadi kumulatif. Tanpa pedoman yang menentukan, tidak diperkenankan penjatuhan dua pidana yang diancamkan secara alternatif-kumulatif secara maksimun, akan menyebabkan terjadi pemberatan pidana yang demikian itu. Pemberatan pidana karena recidive dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal atas perbuatan pidana yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya (sama macamnya “misalnya ini kali mencuri, lain kali mencuri lagi atau ini kali menipu, lain kali menipu lagi, oleh undang-undang dianggap sma macamnya “ semua pasal-pasal yang tersebut dalam pasal 486, meskipun lainlain macamnya, tetapi dianggap sama. Demikian pula pasal-pasal yang tersebut dalam 487 dan 488);
- antara melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim (jika belum ada putusan hakim, adalah merupakan suatu gabungan kejahatan, “samenloop” bukan “recidive”);
- harus hukuman penjara (bukan hukuman kurungan atau denda); dan antara tidak lebih dari 5 (lima) tahun terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
Undang-Undang Diluar KUHP Yang Memuat Ketentuan Residivis
- pasal 69 UU No.14/1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan (menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1965); dalam UU LLAJ yang baru (No.22/2009) tidak dijumpai adanya aturan khusus untuk recidive.
- Pasal 72 UU No.5/1997 tentang Psikotropika;
- Pasal 96 UU No.22/1997 tentang narkotika (mengganti UU No.9/1976)
- Recidive dalam UU No.14/1992 (Lalu lintas dan ankatan jalan) Pasal 69
Yang berbunyi Jika seseorang melakukan lagi pelanggaran yang sama dengan pelanggaran pertama sebelum lewat jangka satu tahun sejak tanggal putusan pengadilan atas pelanggaran pertama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran yang kedua ditambah dengan sepertiga dari pidana kurungan pokoknya atau bila dikenakan denda dapat ditambah dengan setengah dari pidana denda yang diancamkan untuk pelanggaran yang bersangkutan.
- Syarat pengulangan (recidive) menurut pasal diatas, yakni :
- Tindak pidana (pelanggaran) yang diulangi harus sama dengan yang pertama kali dilakukan;
- Tenggang waktu pengulangannya : sebelum lewat jangka waktu satu tahun sejak tanggal putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas pelanggaran pertama;
- Pemberatan pidananya :
- Pidana kurungan pokoknya : ditambah sepertiga, atau
- Bila dikenakan denda : dapat ditambah setengah dari pidana denda yang diancam untuk pelanggaran yang bersangkutan.
- Karena semua tindak pidana dalam UU No.14/1992 merupakan “pelanggaran” (lihat pasal 68), maka ketentuan dalam pasal 69 diatas berarti mengatur tentang “recidive pelanggaran”
- Recidive dalam UU No.5/1997 tentang Psokotropika Pasal 72
Yang berbunyi Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang berumur 18 Tahun dan belum menikah atau orang yang dibawah pengampuan atau Ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau Sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tin dak pidana tersebut.
- Syarat pengulangan (recidive) menurut pasal diatas, ialah :
- Tindak pidana yang diulangi adalah tindak pidana psikotropika dalam UU ini (diantara pasal 59 s/d 71) berarti tidak harus sejenis;
- Waktu pengulangannya : belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau Sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Berdasarkan syarat waktu pengulangannya tersebut, berarti ada syarat yang ketiga, yaitu bahwa yang bersangkutan pernah dijatuhi pidana penjara terhadap tindak pidana yang terdahulu. Apabila terhadap tindak pidana pertama/ terdahulu hanya dijatuhi pidana denda, maka tidak ada recidive (tida ada pemberatan pidana).
- Pemberatan pidananya : “ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”. Karena pemberatan pidana ditujukan pada “ancaman pidananya”, maka dimungkinkan ancaman pidana yang pertama/terdahulu hanya dijatuhi pidana penjara.
- Patut dicatat, bahwa pemberatan pidana menurut pasal 72 diatas tidak hanya dapat diberikan apabila ada pengulangan (recidive), tetapi juga apabila tindak pidana psikotropika dilakukan :
- Dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 Tahun dan menikah ,
- Dengan menggunakan orang yang dibawah pengampuan.
- Karena tindak pidana psikotropika dalam UU No.5/1997 merupakan “kejahatan” (lihat pasal 68), maka ketentuan dalam pasal 72 diatas berarti mengatur tentang “recidive kejahatan”.
- Recidive dalam UU No.22/1997 tentang narkotika Pasal 96
Yang berbunyi barang siapa dalam jangka waktu 5 Tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 78,79,80,81,82,83,84,5, dan 87 pidananya dapat ditambah sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 Tahun.
- Syarat pengulangan (recidive) dalam pasal diatas, ialah :
- Tindak pidana yang diulangi adalah tindak pidana yang diatur dalam pasal 78 s/d 85 dan pasal 87; berarti tidak harus sejenis atau tindak pidana yang sama.
- Tenggang waktu pengulangannya : dalam jangka waktu 5 Tahun. Pasal diatas tidak menegaskan, sejak kapan menghitung jangka waktu 5 Tahun itu. Dalam UU narkotika yang lama (pasal 39 UU No.9 Tahun 1976) ditegaskan, belum lewat 2 Tahun “sejak menjalani seluruhnya atau Sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya”.
- Pemberatan pidananya : ditambah sepertiga dari pidana pokok. Ini berarti, pidana penjara maupun denda diperberat sepertiga. Hal ini berbeda dengan UU narkotika yang lama (UU No.9/1976), yaitu pidana penjara ditambah sepertiga, pidana denda dilipatkan dua kali.
- Catatan : dalam UU 22/1997 ini tidak ada pasal yang menyebutkan kualifikasi deliknya (berupa “kejahatan” atau “pelanggaran”), sehingga dapat menimbulkan maslaah yuridis.
Recidive Pelanggaran
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP. Adapun pemberatannya pada umumnya mengikuti salah satu sistem pemberatan pidana sebagai berikut:
- Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.
- Pidana denda/kurungan dilipat dua kali.
Berikut ini jenis recidive pelanggaran dan pemberatan pidananya dalam hal recidive :
- Pasal 489 KUHP : kenakalan terhadap orang atau barang, denda maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari.
- Pasal 492 KUHP : masuk di muka umum merintangi lalu lintas/ mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain, kurungan maksimal 6 hari ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 2 minggu.
- Pasal 495 KUHP : memasang perangkap/alat untuk membunuh binatang buas tanpa izin, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 6 hari.
- Pasal 501 KUHP : menjual/membagikan makanan/minuman yang palsu, busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 6 hari.
- Pasal 512 KUHP : melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewenangan atau melampaui batas kewenangannya, denda maksimal Rp 4500/Rp 2250 diganti kurungan maksimal 2 bulan/1 bulan.
- Pasal 516 KUHP : mengusahakan tempat bermalam tanpa register/ catatan tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat yang memintanya, denda maksimal Rp. 375 diganti kurungan maksimal 6 hari.
- Pasal 517 KUHP : membeli dan sebagainya barang-barang anggota militer tanpa izin, kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp 2250 maka hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.
- Pasal 530 KUHP : petugas agama yang melakukan upacara perkawinan sebelum persyaratan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat catatan sipil/B.S. telah dilakukan, denda maksimal Rp. 4500 diganti kurungan maksimal 2 bulan
- Pasal 536 KUHP : dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, denda maksimal Rp 225 maka pengulangan untuk kedua kalinya hukuman denda diganti kurungan maksimal 3 hari dan jika pengulangan ketiga kalinya atau selanjutnya maka hukumannya ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 3 bulan.
- Pasal 540 KUHP : mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau menyakitinya, kurungan maksimal 8 hari atau denda maksimal Rp 2250 ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 14 hari.
- Pasal 541 KUHP : menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi, denda maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari.
- Pasal 544 KUHP : mengadakan sabung ayam/jangkrik di jalan umum tanpa izin, kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.
- Pasal 545 KUHP : melakukan pencaharian sebagai tukang ramal, kurungan 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka hukumannya ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.
- Pasal 549 KUHP : membiarkan ternaknya berjalan di kebun/tanah yang terlarang, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 14 hari.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masingmasing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut :
- Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
- Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
article by: Sapna Azizi Nurul Fadhil, Muhammad Amin Muktafa, Alya Desinta Rahmawati
Leave a Reply