TINDAK PIDANA PERCOBAAN

TINDAK PIDANA PERCOBAAN

Pengertian Tindak Pidana Percobaan

Tindak pidana percobaan merupakan upaya seseorang untuk melakukan tindak pidana, namun tidak berhasil karena ada hal di luar kendali pelaku. Dalam hukum pidana, situasi ini dikenal sebagai percobaan. Walaupun niat dan langkah-langkah menuju tindakan kriminal telah dilakukan, namun tindakan kriminal tersebut belum sepenuhnya terwujud. Unsur pentingnya adalah adanya permulaan pelaksanaan, yang berarti pelaku telah memulai tindakan nyata untuk mencapai tujuan kejahatannya,dan gagal mencapai tujuan karena sebab-sebab di luar kehendaknya.

Contohnya, seseorang yang ingin membunuh korban dengan menembaknya, tetapi pelurunya meleset karena angin kencang atau senjata macet, bisa dianggap bersalah melakukan percobaan tindak pidana. Meskipun niatnya kurang baik dan telah melakukan tindakan yang nyata (menembak), namun tujuannya (membunuh) tidak tercapai karena ada faktor yang di luar kendalinya.

Dalam Bab IX Buku I KUHP, yang membahas arti beberapa istilah dalam undang-undang, tidak ditemukan definisi spesifik tentang istilah “percobaan”. KUHP hanya memberikan batasan mengenai kapan suatu percobaan melakukan kejahatan bisa dikenakan pidana, yang dijelaskan dalam Pasal 53 ayat (1) sebagai berikut:

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat tersebut terbukti dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak terselesaikannya pelaksanaan tersebut bukan disebabkan kehendak pelaku sendiri.”

Bunyi pasal ini tidak memberikan definisi, melainkan menetapkan syarat-syarat yang membedakan percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak. Menurut KUHP, percobaan yang dapat dihukum hanya berlaku untuk jenis tindak pidana kejahatan, sementara percobaan terhadap pelanggaran tidak dapat dipidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 KUHP

Adapun sifat percobaan tindak pidana memiliki dua pemahaman utama:

1. Menganggap percobaan sebagai Strafausdehnungsgrund atau alasan untuk memperluas pertanggungjawaban pidana.

Menurut pandangan ini, seseorang yang mencoba melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana meskipun tidak semua unsur delik terpenuhi, asalkan memenuhi ketentuan pasal 53 KUHP. Artinya, sifat percobaan ini adalah memperluas kemungkinan seseorang bisa dipidana, bukan memperluas rumusan delik itu sendiri. Dengan demikian, percobaan bukanlah jenis delik yang berdiri sendiri, melainkan bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm). Tokoh yang sependapat dengan pandangan ini adalah Prof. Hazewinkel- Suringa dan Prof. Oemar Seno Adji.

2. Menganggap percobaan sebagai Tatbestandausdehnungsgrund atau perluasan delik.

Di sini, percobaan dipandang sebagai satu kesatuan delik yang utuh dan lengkap, bukan delik yang tidak sempurna, melainkan delik yang sempurna namun dalam bentuk khusus (delictum sui generis). Tokoh pendukung pandangan ini antara lain Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno. Alasan Prof. Moelyatno adalah:

  1. seseorang dihukum karena melakukan suatu delik,
  2. dalam konsep “perbuatan pidana” (dualistis), delik diukur dari seberapa berbahayanya perbuatan tersebut bagi masyarakat,
  3. hukum adat tidak mengenal percobaan sebagai delik yang tidak sempurna, hanya ada delik selesai,
  4. dalam KUHP, terdapat beberapa delik yang dianggap selesai meski sebenarnya baru dalam tahap percobaan, seperti delik pada pasal 104, 106, dan 107 tentang maker atau aandlagdelicten.

Dalam kepustakaan Belanda, percobaan melakukan kejahatan dianggap sebagai delik yang belum selesai. Namun, Mulyanto berpendapat bahwa percobaan adalah delik khusus, yaitu suatu delik yang berbeda dari delik lainnya dalam Buku II KUHP.

Hazewinkel-Suringa berpendapat bahwa hukuman dalam kasus percobaan dikurangi sepertiganya, tetapi pengurangan ini tidak didasarkan pada alasan yang memperingan pidana. Hal ini penting karena pengurangan pidana bukan berarti kejahatan telah selesai dilakukan, melainkan karena percobaan belum mencapai tahap delik sempurna.

Teori Dasar Dipidanya Pidana Percobaan

Teori Subjektif

Menurut teori ini, alasan mengapa percobaan layak dipidana terletak pada sikap mental atau karakter berbahaya dari pelakunya. Van Hamel adalah salah satu pendukung teori ini.

Teori Objektif

Menurut teori ini, alasan percobaan layak dipidana didasarkan pada bahaya dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Teori ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Teori objektif-formil, yang menekankan bahaya tindakan tersebut terhadap ketertiban hukum.
  2. Teori objektif-materiel, yang menitikberatkan bahaya tindakan tersebut terhadap kepentingan atau objek hukum. Pendukung teori ini termasuk Simons.

Teori Campuran

Teori ini melihat alasan mengapa percobaan layak dipidana dari dua sudut pandang, yaitu: sisi subjektif, yang menilai bahaya dari sikap batin pelaku, dan sisi objektif, yang menilai bahaya dari perbuatannya. Langemeyer dan Jonkers termasuk pendukung teori ini. Namun, karena penerapan teori ini dalam praktik tidak selalu mudah, mereka lebih condong pada teori subjektif.

Prof. Moelyatno, dalam buku Nikmah Rosidah, termasuk penganut teori campuran. Menurutnya, rumusan delik percobaan pada Pasal 53 KUHP mencakup dua unsur inti: unsur subjektif (niat melakukan kejahatan tertentu) dan unsur objektif (tindakan kejahatan sudah dimulai meskipun tidak selesai). Oleh karena itu, menurut Prof. Moelyatno, tidak mungkin memilih hanya salah satu teori, subjektif atau objektif, karena hal tersebut akan mengabaikan dua unsur utama dalam delik percobaan; penilaian harus mencakup kedua aspek tersebut. Ia juga menyatakan bahwa jika teori subjektif atau objektif diterapkan secara mutlak, hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan.

Unsur-Unsur Tindak Pidana Percobaan

Niat

Dalam konteks hukum pidana, niat atau kehendak adalah dorongan batin seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Niat dalam kasus percobaan dianggap penting karena berkaitan erat dengan “kesengajaan.” Beberapa ahli seperti D. Hazewinkel Suringa,4 van Hamel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen menyamakan niat dengan kesengajaan dalam semua bentuknya, termasuk “opzet als oogmerk” (niat langsung), “opzet bij zekerheid bewustzijn” (kesadaran pasti), dan “opzet bij mogelijkheid bewustzijn” (kesadaran kemungkinan). Namun, Vos menolak pandangan ini, dan menyatakan bahwa niat hanya melibatkan kesengajaan dalam bentuk niat langsung.

Contoh penting adalah kasus Hoge Raad tahun 1951, di mana seorang pengemudi yang mengemudikan mobilnya ke arah polisi untuk menghindari penangkapan dianggap bersalah atas percobaan pembunuhan. Meskipun ia mungkin tidak memiliki niat langsung untuk membunuh polisi, kesadarannya bahwa perbuatannya bisa membahayakan dianggap sebagai “dolus eventualis.”

Mulyatno menyarankan pandangan yang sedikit berbeda. Ia berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan tetapi bisa berubah menjadi kesengajaan jika tindakan tersebut sudah diwujudkan dalam bentuk percobaan tindak pidana. Jika suatu kejahatan gagal terjadi bukan karena kehendak pelaku, maka niat masih relevan untuk membedakan kesengajaan dengan sekadar niat batin yang belum diwujudkan sepenuhnya.

Permulaan Pelaksanaan

Permulaan Pelaksanaan adalah tindakan yang menunjukkan
niat seseorang untuk melakukan kejahatan. Karena niat sulit
diketahui tanpa diungkapkan, maka permulaan pelaksanaan sangat
penting dalam membuktikan percobaan kejahatan. Dalam Pasal 53
KUHP, permulaan pelaksanaan ditentukan sebagai manifestasi dari
niat untuk melakukan tindak pidana. Ada dua teori utama untuk menentukan permulaan pelaksanaan:

  1. Teori Subjektif:
    Menitikberatkan pada niat pelaku. Jika suatu tindakan sudah menjadi perwujudan niat, maka itu dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Misalnya, dalam rencana pembunuhan, tindakan seperti meminjam pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan, karena niatnya sudah diwujudkan melalui tindakan awal yang mendekati tujuan.
  2. Teori Objektif:
    Fokus pada tindakan yang langsung mengarah ke tujuan pidana. Contohnya, dalam kasus yang sama, permulaan pelaksanaan terjadi saat tindakan nyata untuk melukai korban dilakukan, seperti saat menarik pelatuk senjata. Tindakan yang mendekatkan pelaku pada akibat hukum dianggap permulaan pelaksanaan.

Mulyatno menggabungkan kedua teori ini. Menurutnya, permulaan pelaksanaan harus memenuhi tiga syarat:

  1. tindakan harus mendekati delik yang dituju secara objektif,
  2. niat harus jelas terlihat dari tindakan,
  3. tindakan bersifat melawan hukum.

Pelaksanaan Tidak Selesai Semata-Mata Bukan Kehendak Pelaku

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang bukan karena kehendak pelaku dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti:

  1. Penghalang Fisik: Misalnya, tembakan yang meleset karena tangan pelaku ditarik orang lain, atau alat yang rusak (misal, peluru macet).
  2. Ancaman Penghalang Fisik: Misalnya, pelaku berhenti mencuri karena takut tertangkap.
  3. Faktor Khusus Objek Sasaran: Misalnya, korban yang ditembak memiliki daya tahan tinggi sehingga tidak mati, atau barang yang hendak dicuri terlalu berat.

Jika pelaku menghentikan tindakan dengan sukarela (pengunduran diri), perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai percobaan. Ada dua bentuk pengunduran diri:

  1. Pengunduran Diri Sukarela (Rücktritt): Pelaku berhenti sebelum pelaksanaan selesai.
  2. Tindakan Penyesalan (Tätiger Reue): Pelaku telah menyelesaikan tindakan tapi berupaya mencegah akibat yang diinginkan, seperti memberikan obat penawar setelah meracuni korban.

Mulyatno menyatakan bahwa unsur ke-3 dalam Pasal 53 KUHP bukan alasan pemaaf maupun penghapus pidana, melainkan penghapus penuntutan. Hal ini untuk memberi insentif bagi pelaku yang mengurungkan niat jahatnya dan menghemat sumber daya hukum. Ada dua pandangan tentang konsekuensi unsur ke-3 dalam Pasal 53 KUHP:

  1. Konsekuensi Materiil: Unsur ini bersifat aksesori. Jika ada pengunduran diri sukarela, maka tidak ada percobaan.
  2. Konsekuensi Formil: Unsur ini berdiri sendiri. Meski ada pengunduran diri sukarela, percobaan tetap dianggap ada, tetapi keputusan pidana atau tidaknya tergantung pada pertimbangan pertanggungjawaban pidana.

Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Percobaan

Menurut sistem KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan,sedangkan untuk percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana.

Menurut Pasal 53 KUHP, apabila seseorang berupaya melakukan tindak pidana (pogging), maka pidana maksimal yang dijatuhkan akan dikurangi sepertiga dari pidana maksimal tindak pidana tersebut (dalam pasal yang sama).Misalnya, pidana maksimal percobaan pembunuhan (Pasal 53 dan 338 KUHP) adalah 10 tahun penjara, sedangkan pidana maksimal pembunuhan (Pasal 338) adalah 15 tahun dikurangi sepertiganya.Namun, jika kejahatan tersebut diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, seperti pembunuhan berencana, maka hukuman maksimum yang mungkin diterapkan sesuai dengan Pasal 53 (3) KUHP. Satusatunya hukuman yang dihadapinya adalah 15 tahun penjara.

Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus percobaan kejahatan, pidana pokok maksimumnya lebih rendah dibandingkan jika kejahatan itu selesai seluruhnya. Sebaliknya, pidana tambahan berdasarkan Pasal 53 ayat (4) KUHP sama saja dengan pidana yang telah selesai.

Konsep Tindak Pidana dalam KUHP Baru

Dalam KUHP saat ini, pengaturan tentang percobaan tindak pidana hanya terdapat dalam dua pasal, yaitu Pasal 53 dan Pasal 54. Pasal-Pasal ini secara garis besar hanya mengatur tentang unsur-unsur dan syarat-syarat dapat dipidananya “percobaan”.

Berbeda dengan KUHP saat ini, dalam Konsep KUHP pengaturan tentang percobaan tindak pidana lebih luas dan rinci. Konsep KUHP mengatur beberapa hal, antara lain:

  • Unsur-unsur dan batas-batas dapat dipidananya “percobaan”
  • Batasan terkait “perbuatan pelaksanaan”
  • Masalah “pengunduran diri secara sukarela (Rücktritt)” dan “tindakan penyesalan (Tätiger Reue)”
  • Pengaturan mengenai “percobaan tidak mampu”

article by: Afna Laiyyina Alifia, Vannisa Nur Hidayatullayli, Anindy Rizkika Aristianti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *